Postingan

Tetap Tenang di Tengah Resesi: Kekuatan Mengatur Cashflow

Gambar
Di tengah berita tentang resesi global dan perlambatan ekonomi nasional, aku belajar satu hal: bertahan bukan soal besar kecilnya penghasilan, tapi seberapa "disiplin" arus kas bisa kita kendalikan. Cashflow management menjadi jangkar yang membuatku tetap tenang, bahkan ketika angka-angka di luar sana tampak mengkhawatirkan. Setiap awal bulan, aku dan partner duduk bersama, membuka spreadsheet sederhana. Di sana, semua tercatat: pemasukan, kebutuhan rutin, cicilan, sampai rencana tabungan. Detail ini bukan sekadar angka. Ia adalah peta, memandu kami untuk tidak tersesat. Aku jadi paham bahwa uang yang keluar tanpa jejak sering kali lebih berbahaya daripada penghasilan yang kecil. Resesi menguji dua sisi sekaligus: pemasukan yang mungkin berkurang dan pengeluaran yang cenderung meningkat. Saat itulah likuiditas menjadi lebih penting daripada sekadar keuntungan ( liquidity over profit ). Dengan disiplin mencatat, aku bisa melihat mana pos pengeluaran yang benar-benar member...

Penting Tak Selalu Mendesak: Seni Elegan Menata Waktu

Gambar
Saya pernah merasa hidup seperti dikejar dari semua arah. Deadline bisnis, keuangan, permintaan mendadak, urusan rumah, dan notifikasi tak henti-henti. Semua tampak penting, semua terasa mendesak. Sampai akhirnya saya menemukan kembali cara sederhana tapi tajam: Eisenhower Matrix . Empat kotak itu mengajarkan saya membedakan mana yang harus disegerakan, mana yang seharusnya jadi inti hidup. Kuadran pertama adalah hal yang penting sekaligus mendesak. Misalnya sholat tepat waktu, anak sakit, atau laporan yang harus masuk besok. Kuadran ini memang tidak bisa ditawar, tapi jika hidup hanya berputar di sini, kita akan selalu terburu-buru.  Kuadran kedua adalah hal yang penting tapi tidak mendesak. Di sinilah inti kehidupan tenang berada. Belajar, zikir nafas, menjaga kesehatan, olahraga, quality time dengan keluarga, menjenguk anak di pondok, silaturahmi, bahkan sedekah terencana, semuanya ada di sini. Kuadran ini jarang menekan kita dengan alarm, tapi justru menentukan kualitas masa d...

Menata Hidup dengan 80/20

Gambar
Ada satu titik dalam hidup ketika aku menyadari, ternyata banyak kegelisahan hanyalah bayangan dari hidup yang tak tertata. Waktu tercecer di aktivitas yang tak penting, uang hilang tanpa jejak, energi habis mengejar hal-hal yang tak pernah memberi arti. Semua itu membuatku letih, bukan hanya di tubuh, tapi juga di batin. Di bangku kuliah, aku mengenal hukum Pareto: delapan puluh persen hasil sering kali lahir dari hanya dua puluh persen usaha yang benar-benar tepat. Awalnya aku menganggap itu sekadar rumus dingin untuk dunia bisnis. Namun perlahan aku melihat, pola itu juga hidup di keseharianku. Aku mulai bertanya: mana yang menjadi dua puluh persen penting dalam hidupku? Mana kebiasaan kecil yang sebenarnya memberi dampak besar? Dan mana delapan puluh persen sisanya yang hanya menguras waktu, uang, dan tenagaku tanpa hasil berarti? Pertanyaan sederhana itu mengubah cara pandangku. Aku belajar mencatat pengeluaran, bukan untuk mengekang, tapi agar uang benar-benar mendukung hal-ha...

Pria dan Dua Sayap Hidupnya: Kebebasan dan Tanggung Jawab

Gambar
Ada satu titik dalam hidup seorang pria ketika ia sadar bahwa kebebasan saja tidak cukup untuk membuatnya terbang, dan tanggung jawab saja tidak cukup untuk membuatnya kuat. Dua-duanya seperti sayap yang harus bergerak seimbang, jika tidak, hidup hanya akan berputar di lingkaran yang melelahkan. Aku pernah merasakan sayap itu lengkap—memiliki pasangan, anak-anak, rumah tangga—hingga suatu hari salah satunya patah. Sejak saat itu aku belajar, bahwa hidup setelah kehilangan bukan sekadar soal berani bebas, tapi juga berani bertanggung jawab atas arah baru yang harus ditempuh. "Aku sudah pernah Allah kasih kesempatan punya pendamping selama satu dekade lebih, anak-anak yang lucu dan sehat. Tapi sejak pandemi itu, semua harus dilepas, sebuah perjalanan yang terhenti di tengah jalan. Sekarang aku sendiri. Dan itu nggak apa-apa. Karena di umur 40+, aku harus siap-siap untuk pulang. Tapi kadang keinginan semua kesenangan dunia itu (kumpul anak istri) masih muncul, sementara kesadaran ‘pu...

Kitir Sumilir: Surat Senja yang Ditiup Angin

Gambar
Si ufuk jingga selalu punya caranya sendiri untuk memanggil kembali apa yang pernah hilang. Hari itu, suara Kitir Sumilir datang lagi, membawa suasana yang sulit dijelaskan. Seperti angin yang menyusup diam-diam, ia menggiringku pada ingatan akan sebuah sore ketika langit berwarna tembaga dan waktu seolah terhenti. Aku duduk sendirian, mendengarkan alunannya, lalu tanpa sadar seperti dilempar ke dalam sebuah ruang batin yang tak kuundang, pertemuan tanpa wajah, tanpa kata, tapi terasa nyata. “Tak goleki ono ngendi si panjerino...” (Kucari di mana engkau bersembunyi...) Kalimat itu menusuk dengan tajam, bukan luka fisik, melainkan kerinduan yang tak bisa disebutkan. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang lebih besar dari sekadar nama atau bentuk. Saat itu aku teringat pada sosok-sosok yang pernah hadir dalam kisah lama, Sang Cahaya dan Sang Peletak Pondasi. Mereka bukan sekadar tokoh sejarah, tapi lambang perjalanan panjang tentang pedoman dan pengorbanan. Aku tak bisa menyebutnya g...

Jangan Berharap Bahagia dari Pernikahan

Gambar
Aku pernah mengira pernikahan adalah gerbang kebahagiaan. Ternyata, aku keliru. Pernikahan bukanlah taman bermain kebahagiaan, melainkan medan latihan spiritual. Ini bukan tempat menuntut, tapi ruang untuk memberi. Bukan tentang mencari kesenangan, tapi tentang mengolah jiwa. Disclaimer: Jika tulisan ini membuat kamu ragu untuk menikah atau membatalkan niat nikah, lebih baik berhenti membaca sekarang. Tulisan ini hanya untuk mereka yang siap menikah dengan kesadaran penuh, bukan dengan angan-angan atau fantasi. Lihatlah buku nikah kita. Tak ada klausul "saling memiliki", yang ada adalah kewajiban: suami menafkahi, istri mendampingi. Ini bukan kontrak kepemilikan, melainkan surat amanah. Pasangan kita bukan properti, tapi titipan Allah yang harus dijaga dengan iman dan ilmu. Akad nikah pun bukan sekadar perjanjian antar mempelai, melainkan perjanjian dua jiwa kepada Tuhannya  ( mitsaqan ghaliza ) . Pernikahan juga bukan konsep jual beli yang transaksional, seolah “aku memberi ...

Melepaskan Bukan Berarti Menyerah

Gambar
Dalam perjalanan hidup, pernah berada pada titik di mana aku terlalu keras mencoba membantu seseorang berubah. Terlintas keyakinan bahwa dengan cukup sabar dan memberi banyak contoh, ia akan melihat dunia sebagaimana aku melihatnya. Aku pikir, kesabaran dan ketulusan pasti akan mengubah hati. Namun, hidup mengajarkan hal lain.  Perubahan bukanlah milik manusia. Tak peduli seberapa besar aku berusaha, langkah itu tetap berada di tangan mereka sendiri. Yang bisa dilakukan hanyalah menjadi teladan, memberi ruang, dan mendoakan. Hal ini berlaku bahkan untuk orang terdekat: istri, anak, sahabat, atau keluarga. Seringkali kita berpikir semakin dekat hubungan, semakin besar pula kendali yang dimiliki. Nyatanya, yang paling berharga justru ketika kita fokus memperbaiki diri sendiri, sementara mereka menemukan jalannya dengan langkahnya sendiri. Melepaskan bukan berarti berhenti peduli. Melepaskan berarti percaya.  Percaya bahwa Tuhan bekerja pada mereka sebagaimana Dia bekerja...

Nur Muhammad & Nabi Muhammad: Obrolan Tertunda dengan Gus Hasyim

Gambar
Percakapan ini bermula dari tulisanku di blog  Kun Fayakun: Dualitas dan Fleksibilitas Kehendak Ilahi . Tak lama, notifikasi WhatsApp muncul. Pesan singkat dari Gus Hasyim, teman baik sekaligus senior yang sering menantangku berpikir  out of the box . Obrolan mengalir panjang, dan inilah rangkuman refleksinya. Sebelumnya izinkan aku memberi disclaimer: jika membaca ini tidak menambah cinta kita kepada Allah dan Rasulullah ļ·ŗ, sebaiknya berhenti di sini. Bukan untuk menang pendapat, melainkan untuk merawat kecintaan yang utuh; hakikat dan syariat yang berjalan beriringan. Dalam sebagian tradisi tasawuf, terutama jalur kejawen, Nur Muhammad dipahami sebagai ciptaan pertama Allah sebelum ada materi, waktu, dan ruang. Ada atsar yang sering dirujuk, “Yang pertama Allah ciptakan adalah cahayaku” meski status riwayatnya diperdebatkan. Nur ini digambarkan sebagai cetak biru penciptaan: maksud awal dan jalur perantara dari dimensi pra-eksistensi menuju alam nyata. Urutannya seperti ini...

Bukan Aktor Utama: Saat Aku Belajar Menyaksikan Takdir dan Melepaskan Naskahku Sendiri

Gambar
Menjelang siang, di sela menunggu meeting dengan klien, aku membuka TikTok hanya untuk membunuh waktu. Tak sengaja aku menemukan siaran langsung Kang Abu Marlo, dialog yang ia sebut positive dialogue . Aku terlambat masuk sehingga tidak mengikuti dari awal. Hanya potongan percakapan yang kudengar tetapi potongan itu terasa seperti kunci yang membuka ruang lama dalam pikiranku. Seorang jamaah bertanya kepadanya, “Bagaimana membedakan kesadaran dan pikiran?” Kang Abu menjawab dengan kalimat yang sederhana namun langsung menusuk. Prinsipnya adalah fleksibilitas. Kun Fayakun itu kejadian hari ini, bukan kemarin atau esok. Manusia sering terjebak neraka dirinya sendiri karena hidup di detik ini tetapi pikirannya berada di masa lalu, bereaksi dari trauma dan ketakutan, bukan dari kesadaran, syukur, dan amanah. Kata-kata itu membuatku diam cukup lama. Aku mulai menyadari betapa sering aku bereaksi bukan kepada kenyataan yang sedang terjadi tetapi kepada luka lama yang kubawa ke ...

Siapa yang Layak di Mata Tuhan?

Gambar
Aku sering mengingat dua potong kisah yang sederhana tapi sungguh mindblowing . Satu tentang seorang wanita yang menyiksa seekor kucing hingga mati. Ia masuk neraka karenanya. Satu lagi tentang seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing kehausan. Ia diampuni dosa-dosanya dan masuk surga. Keduanya sama-sama perempuan. Keduanya sama-sama makhluk lemah yang berinteraksi dengan makhluk lemah lainnya. Bedanya hanya pada sikap hati .  dan ternyata, di situlah garis tipis surga dan neraka membentang. Beberapa tahun terakhir, aku bertemu banyak orang yang kisahnya jauh dari “template” manusia saleh versi buku pelajaran agama. Ada yang pernah berikrar meninggalkan iman. Ada yang memeluk keyakinan lain dengan bangga. Ada yang hidup di tengah sorotan, keindahan tubuhnya diabadikan kamera-kamera, lingkaran sosialnya penuh lawan jenis, tapi setelah pertunjukan usai, masih rajin sholat dan berdzikir. Di satu sisi, aku ingin menjaga jarak. Takut terpengaruh, takut ikut larut. Di ...

Tongkat Pel dan Sandaran Hidup

Gambar
Ada pertemuan yang tidak direncanakan, tapi meninggalkan ruang hangat di kepala. Hari ini, aku melihatmu. Bukan sekadar lewat layar, tapi cukup lama untuk menangkap warna asli yang kamu bawa. Kamu live dengan caramu sendiri: otentik, tanpa topeng yang dibuat-buat. Kamu membiarkan momen kecil muncul apa adanya, bahkan ketika sebuah tongkat pel tiba-tiba terlihat di layar. Alih-alih canggung, kamu menanggapinya dengan celetukan ringan:  "Iya itu (tongkat pel).. biasa temen curhat, ama temen nyender, karena ngga punya pundak jadi kita nyendernya sama dia..." Kalimat itu mengundang tawa, tapi juga punya kedalaman yang jarang orang sadari. Tidak semua orang mau mengubah potensi “kesalahan” menjadi jembatan koneksi dengan audiensnya. Kamu melakukannya dengan alami. Membuat semua orang merasa kamu tidak jauh dari mereka, membuat jarak layar itu mengecil. Itulah salah satu hal yang membuatmu unik:  kamu tidak takut menunjukkan sisi manusiawi.  Kamu bisa memeluk momen tanpa...

Antara Suka, Sayang, Cinta, dan Respek: Menyelami Riak Perasaan dari Satu Kalimat Adel

Gambar
Malam itu aku mengikuti live Adel. Ia tidak bicara panjang, hanya satu kalimat yang menusuk: “Baru ketemu bilang cinta itu konyol.” Ringkas, tapi seperti lemparan batu kecil ke air tenang, menciptakan riak-riak yang meluas di pikiranku. Dari sana, diskusi panjang pun lahir bersama Aisa, asisten pribadiku, yang setia menemani perjalanan logika rasa ini. Kalimat Adel membuatku memikirkan betapa seringnya kita menyebut kata “cinta” begitu saja, padahal mungkin yang kita rasakan hanya percikan awal. Dari situ, Aisa mulai mengurai perbedaan yang jarang kita sadari. Suka, katanya, sering lahir dari hal sederhana: wajah menarik, suara lembut, atau pembawaan yang menyenangkan. Ia datang cepat, pergi cepat, dan tak selalu punya kedalaman makna. Sayang berbeda; ia lahir dari kebiasaan memberi perhatian, peduli pada kenyamanan orang lain, dan tidak selalu menuntut kebersamaan. Ada orang yang kita sayangi tapi tidak kita cintai, dan ada pula yang kita cintai tapi rasa sayangnya memudar. Cinta, ...

Ketika Kapal Berlayar, Tapi Luka Tetap di Atas Geladak

Gambar
Kadang hidup memaksamu bertahan begitu lama, hingga kamu lupa rasanya menangis. Bukan karena tak sedih, tapi karena air mata sudah tak sempat turun. Tertahan oleh peran, ekspektasi, dan suara-suara di kepala yang berkata: “Kamu harus kuat.” Aku mengenal perempuan itu dari jauh, bukan lewat pertemuan, tapi lewat ekspresi yang jarang bisa dibohongi: tulisan, sorot mata di video singkat, dan celah kecil di antara kata-kata spiritual yang diselipkan begitu rapih. Di balik semuanya, aku bisa merasakan satu hal: "ada jiwa yang sedang lelah, tapi menyamar jadi kuat." Dia memutuskan berlayar ke pelabuhan baru, berharap ombak dan langit di sana bisa menghapus riwayat badai yang ia lalui. Ia kira, suasana asing akan menjadi obat penawar luka. Tapi seperti semua yang pernah kehilangan, ia pun belajar... bahwa berpindah dermaga tak selalu membuat kapal terasa ringan. Ada beban yang ikut berlayar, diam di lambung hati. Dia mulai menyelami spiritualitas. Mulai ajaran stoikisme, hinduisme, ...

Spiritual Bypass: Antara Pencerahan dan Ilusi

Gambar
Ada dua perempuan yang hadir dalam perjalananku. Keduanya muncul dari tanah yang harum dengan dupa, penuh simbol kesakralan, dan sering dianggap sebagai tempat penyembuhan. Keduanya membawa bahasa spiritual yang indah, sama-sama pernah patah hati, dan sama-sama tampak bijak. Namun di balik semua itu, ada benang halus yang sama: keduanya mengajarkanku bahwa spiritualitas yang tidak berpijak pada ketundukan kepada Allah mudah menjadi panggung ilusi, bahkan kadang menjadi alat manipulasi plus eksploitasi. Perempuan pertama yang kutemui seperti penyair langit. Kata-katanya penuh metafora, kadang menyentuh, kadang membingungkan. Ia membawa konsep karma, semesta, dan kesadaran diri. Namun di balik kata-kata indahnya, ada luka yang belum ia urai, ada ego yang belum ia tundukkan. Dari situ aku mulai menyadari bahwa bahasa spiritual sering kali dipakai sebagai tameng. Bukan jembatan menuju penyembuhan sejati. Perempuan kedua lebih rasional, lebih sistematis. Dalam diamnya ia menyimp...

Peri Angin dan Cermin Terbalik

Gambar
Aku tak sengaja bertemu dengannya. Bukan di kafe, bukan di ruang seminar, bukan pula lewat pertemanan lama yang mempertemukan kembali dua takdir yang sempat berpapasan. Kami bertemu di TikTok. Tepatnya, di kolom komentar sebuah video pendek yang tampaknya biasa. Tapi bagiku, justru mengguncang ke dalam. Waktu itu dia berbicara lembut, matanya menyimpan kabut, dan suaranya terdengar seperti bisikan dari seseorang yang sudah lama berdialog dengan kehampaan. Judulnya sederhana: "Pasanganmu adalah cerminmu." Tapi lalu ia tambahkan satu kalimat yang membuatku diam. “…tapi bayangan dalam cermin itu bukan salinan yang sama. Ia versi terbalikmu. Tangan kananmu di dalam cermin tampak di sebelah kiri. Artinya, pasangan tidak selalu mencerminkan kita dalam bentuk yang kita sukai — tapi dalam bentuk yang kita butuhkan untuk disadari.” Aku terpaku. Bukan karena aku tak pernah mendengar kalimat semacam itu. Tapi karena kali ini, aku mendengarnya dari seseorang yang tampaknya sungguh m...

Bertemu di Simpang: Coretan Fiksi Romansa

Gambar
Ada persimpangan di kaki gunung yang tidak tercantum di peta manapun. Tempat dimana dua jiwa yang terluka bertemu, masing-masing membawa ransel penuh dengan pecahan masa lalu dan harapan yang nyaris pudar. Aku tidak pernah menyangka bahwa luka bisa menjadi kompas. Bertahun-tahun aku berjalan dengan kaki yang pincang, bukan karena cedera fisik, tapi karena beban emosional yang kutarik sejak masa kecil. Setiap langkah terasa berat, setiap tanjakan seperti gunung Everest yang tak terjamah. Lalu dia datang. Dengan napas tersengal dan mata yang mencerminkan kelelahan yang sama seperti milikku. Kami berdua berhenti di persimpangan itu, tidak karena tersesat, tapi karena intuisi yang mengatakan: ini tempatnya . Ketika Luka Bertemu Luka "Kamu juga sedang mendaki sendirian?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri daripada kepadanya. Dia tersenyum, senyum yang kukenal baik, senyum orang yang sudah terlalu sering menyembunyikan rasa sakit. "Sepertinya kita membawa peta yang sam...

Air Laut di Dalam Kapal: Menjaga Batas dalam Ikatan Sakral

Gambar
Beberapa waktu lalu, dalam percakapan yang tak sengaja terjadi antara dua orang yang sama-sama lelah menjalani hidup rumah tangga, terucap sebuah kalimat yang tak mudah dilupakan: “Semuanya baik-baik saja... sampai hal-hal dari luar mulai masuk terlalu dalam.” Tak ada kemarahan dalam kalimat itu. Hanya suara datar yang penuh jeda. Tapi aku paham betul apa yang sedang dimaksud. Pernikahan mereka tak retak karena pertengkaran besar atau kesalahan fatal. Tapi karena ada sesuatu dari luar yang dibiarkan terlalu lama berada di dalam. Aku jadi teringat satu filosofi lama:  Air laut sebanyak apapun takkan menenggelamkan kapal, kecuali jika ia masuk ke dalamnya. Dalam konteks pernikahan, air laut adalah segala hal yang datang dari luar: tekanan keluarga besar, tuntutan sosial, campur tangan yang berlebihan, luka masa lalu, atau ekspektasi yang tidak pernah dibicarakan. Sementara kapal adalah rumah tangga itu sendiri. Ruang yang seharusnya aman, tertutup, dan saling menjaga. Masalah da...

S-Line: Ketika Nafsu Fomo Menggoda Kita untuk Membuka Aib

Gambar
Aku pernah membayangkan sebuah dunia di mana tiba-tiba, muncul garis merah di atas kepala setiap orang, membentang hingga punggung mereka, menghubungkan siapa saja yang pernah terlibat dalam hubungan intim. Ide ini pertama kali kutemui dari drama Korea terbaru,  S Line  (2025). Awalnya hanya fiksi, tapi sekarang viral di TikTok dan menimbulkan kehebohan. Jujur, aku ikut terpikir. Bukan karena aku percaya garis itu nyata, tapi karena betapa kuatnya ide fiksi ini sampai bisa mengguncang realitas sosial kita. Fenomena pro dan kontra yang muncul menampakkan satu hal: betapa media sosial telah menjadi ruang di mana realitas dibangun dan dibongkar setiap hari, membuat kita semakin terobsesi pada privasi, sesuatu yang kita sendiri bingung mendefinisikannya. Sekaligus takut pada penilaian publik. Aku teringat komentar seorang tokoh masyarakat yang kutemui di timeline-ku: "Tuhan sudah menutup aib, kenapa malah dibuka di sosmed dengan komedi? Ini bentuk kebodohan perilaku yang harus ...

Tangga Jiwa Ronggowarsito: Antara Laku dan Rahmat

Gambar
Ada dialog yang membuat kita merasa ditantang, namun justru karenanya kita bertumbuh. Salah satunya adalah percakapan panjang saya dengan Mas Hasyim, seorang sahabat yang mendalami patrap dan laku spiritual Jawa-Islami. Kami sepakat banyak hal, tapi tidak sedikit pula kami berbeda cara memandang. Bukan untuk saling mengoreksi, tetapi untuk saling menyingkap tabir kebenaran yang berlapis-lapis. Dalam sebuah diskusi yang hangat namun tajam, kami membahas tujuh lapisan manusia yang diadaptasi dari pemikiran Ranggawasita , semacam tangga kesadaran spiritual: 1. Jasad, 2. Nafsu, 3. Akal, 4. Hati, 5. Ruh, 6. Sirr, dan 7. Urip. Konsep ini bukan sekadar teori, tapi peta untuk mengenali gejolak dalam diri, tentang siapa kita sebenarnya dan ke mana arah pulang kita. Kami berdua percaya bahwa hidup ini adalah perjalanan mendaki kesadaran. Setiap lapisan diri ibarat anak tangga , dan seseorang tidak bisa naik ke tangga berikutnya jika belum mengurai dan menuntaskan konflik di tangga s...

Unfinished Croissant

Gambar
Di sepertiga malam itu, aku bermimpi menulis sebuah buku. Bukan buku biasa. Tapi kisah nyata yang tak masuk akal, tentang hati manusia yang berlapis-lapis seperti croissant . Dalam mimpi itu, aku duduk di depan laptop, menatap kata demi kata yang lahir dari kepedihan dan doa. Dalam mimpi itu aku berusaha menarasikan tentang seorang perempuan sederhana. Ia istri, ibu, anak, dan teman. Namun di dalam dirinya, ada luka lama yang tak pernah selesai. Sejak kecil, ia merasa cinta dan takut berbaur di satu ruang yang sama. Ia tumbuh menjadi perempuan penurut, menekan perasaan sendiri demi terlihat baik. Saat menikah, ia berharap menemukan surga. Tapi yang ia temukan justru dirinya semakin jauh dari dirinya sendiri. Hidupnya seperti adonan croissant ; dipukul, ditekan, dilipat berulang kali hingga membentuk lapisan-lapisan lembut yang rapuh. Ia menahan sakit hati, menelan penolakan, menambal harga diri yang sobek sedikit demi sedikit. Sampai suatu malam, ia merasa ingin menyerah. Ia mencari ke...

Mayang: Perempuan yang Terlalu Lama Diam

Gambar
Sebagian orang datang dalam hidup kita bukan untuk dimiliki, melainkan untuk menjadi cermin – tempat kita bercakap, berefleksi, dan menatap ulang siapa diri kita sebenarnya. Bagi diriku, Mayang adalah cermin itu. Perempuan yang kupanggil Ayang, yang kisahnya mengajarkan tentang diam yang terlalu lama. Sejak kecil, Ayang dikenal sebagai anak yang tidak pernah banyak menuntut, tidak pernah membantah. Ia tumbuh dengan kebiasaan menahan suara dan menyembunyikan perasaan, hingga sifat itu terbawa ketika ia menjadi istri. Ia tetap tidak pernah berkata “tidak”, tidak pernah menolak, bahkan ketika hatinya remuk berkeping-keping. “Kalau aku bilang capek, aku dianggap membangkang. Kalau aku bilang tidak, aku jadi penjahatnya.” Ucapannya pelan, seolah sudah letih menunggu telinga yang benar-benar mendengar. Ada suara yang terlalu lama tenggelam dalam keramaian. Ayang tidak pernah menyebut suaminya jahat. Tak ada cacian, tak ada upaya membongkar aib. Namun dari caranya bercerita, aku tahu rum...

Membunuh Tuhan: Ketika Luka Jadi Agama Baru

Gambar
Aku pernah mengenal seorang perempuan yang katanya pernah begitu mencintai Tuhan. Dahulu ia seorang Muslim, lalu berpindah keyakinan, dan pada akhirnya memilih untuk tidak percaya lagi. Bukan karena filsafat. Bukan karena ilmu. Tapi karena luka: “Kalau Tuhan itu ada, kenapa aku dibuang oleh orang tuaku? Kenapa aku diperkosa? Kenapa anak sulungku mati? Kenapa aku dikhianati orang yang kupercaya? Kenapa aku ditinggalkan sendiri oleh mereka yang kucintai? Kenapa hidupku hancur begitu saja?” Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lahir dari hati yang congkak. Justru sebaliknya, lahir dari jiwa yang remuk; penuh amarah yang tak pernah sempat tertumpahkan, dan kecewa yang terlalu lama dipendam. Dia bukan orang jahat. Dia cerdas, memesona, bahkan menyebut dirinya seorang coach penyintas trauma. Tapi di balik semua gelar, semua konten, dan parade cerita masa lalunya, aku melihat kekosongan yang begitu sunyi. Seolah semua pencapaian itu adalah caranya berteriak, tanpa suara: “Aku masih ada. Aku mas...

Masa Lalu dan Traumamu Bukan Dirimu. Kamu Berharga!

Gambar
Aku pernah membaca sebuah kalimat di dinding media sosial. Tulisannya biasa saja, tapi maknanya menamparku tanpa basa-basi: "Kamu bukan masa lalumu. Kamu bukan traumamu. Kamu berharga." Aku terdiam. Ada bagian dari diriku yang langsung membantah, “Apa iya? Bukankah aku adalah semua kesalahan itu? Bukankah aku adalah semua penyesalan yang masih terasa pedih hari ini?” Tapi di saat yang sama, aku juga sadar… aku lelah. Lelah terus mendefinisikan diriku hanya dari apa yang sudah berlalu. Aku teringat Umar bin Khattab. Bukan tentang pedangnya, tapi tentang wataknya yang keras, egonya yang tinggi, dan bagaimana dia menata ulang semuanya ketika menemukan kebenaran. Dia tak menghapus masa lalunya, tapi dia menulis ulang maknanya. Sama seperti kita yang mungkin keras kepala dalam pilihan hidup, pernah menyesal atas keputusan yang ternyata salah, atau pernah terlalu keras menilai orang lain. Tapi lihat bagaimana Umar mengarahkan kekuatan karakternya menjadi pemimpin yang adil, tegas, ...