Takbiran: Saat Aku Memilih Mengagungkan Allah SWT
“Allahu Akbar.” Kalimat itu pendek, tapi berat. Ia seperti palu yang menghantam kesadaran, mengingatkan bahwa ada yang jauh lebih besar dari kegelisahan, ambisi, atau ketakutan yang diam-diam kupelihara. Ia tidak selalu hadir di momen khusyuk. Kadang justru muncul di tengah gejolak hidup yang kusut—seperti ketika harus melepaskan seseorang yang dulu begitu kuperjuangkan. Ada masa dalam hidupku ketika aku terus bertahan dalam sebuah hubungan yang dari luar tampak baik-baik saja. Aku pikir itu cinta, aku pikir itu ibadah. Tapi pelan-pelan aku mulai kehilangan arah. Setiap keputusan harus melewati labirin superioritas orang lain. Ketulusan sering dianggap kelemahan. Menjaga kesucian dan kehormatan dianggap naif. Aku sempat berpikir, mungkin ini bagian dari ujian, bahwa mencintai memang butuh iman. Hingga suatu malam, setelah banyak hal yang tak bisa lagi dijelaskan dengan logika atau dinormalkan dengan dalih "saling memahami," aku duduk sendiri. Tak ada suara manusia malam itu...