Mayang: Perempuan yang Terlalu Lama Diam
Sebagian orang datang dalam hidup kita bukan untuk dimiliki, melainkan untuk menjadi cermin – tempat kita bercakap, berefleksi, dan menatap ulang siapa diri kita sebenarnya.
Bagi diriku, Mayang adalah cermin itu. Perempuan yang kupanggil Ayang, yang kisahnya mengajarkan tentang diam yang terlalu lama.
Sejak kecil, Ayang dikenal sebagai anak yang tidak pernah banyak menuntut, tidak pernah membantah. Ia tumbuh dengan kebiasaan menahan suara dan menyembunyikan perasaan, hingga sifat itu terbawa ketika ia menjadi istri. Ia tetap tidak pernah berkata “tidak”, tidak pernah menolak, bahkan ketika hatinya remuk berkeping-keping.
“Kalau aku bilang capek, aku dianggap membangkang. Kalau aku bilang tidak, aku jadi penjahatnya.”
Ucapannya pelan, seolah sudah letih menunggu telinga yang benar-benar mendengar. Ada suara yang terlalu lama tenggelam dalam keramaian.
Ayang tidak pernah menyebut suaminya jahat. Tak ada cacian, tak ada upaya membongkar aib. Namun dari caranya bercerita, aku tahu rumah yang ia tempati sudah lama kehilangan rasa aman.
“Dia sering banting barang. Pernah juga nyiram air ke aku. Tapi gak pernah sampai mukul. Katanya sih gak berani.”
Yang membuatku tercekat bukan sekadar tindakan suaminya, melainkan cara Ayang menuturkannya. Masih ada pembelaan kecil untuk seseorang yang telah menyakitinya. Begitulah Ayang, hatinya terlalu besar, meski raganya nyaris hancur.
Ada satu pengakuan yang membuatku terdiam lama. Ia bilang, jika gelisahnya kambuh, ia akan keluar berjalan kaki di malam hari. Bukan karena berani, bukan pula karena senang, melainkan karena di dalam rumahnya sendiri, ia merasa tak bisa bernapas. Ia jarang meluapkan marah atau kecewa dengan kata-kata. Tubuhnya yang berbicara: lewat gelisah, langkah yang ingin terus berjalan, dan mata yang enggan terpejam.
Sebagai seorang perempuan yang ingin taat, Ayng seringkali diliputi pertanyaan sunyi:
“Aku ini dosa gak, Mas? Aku tinggal serumah, tapi hatiku udah ingin keluar. Apa aku durhaka?”
Itu bukan pertanyaan biasa. Itu jeritan batin dari seorang istri yang ingin tetap berpegang pada Tuhannya, tapi juga ingin menjaga kewarasan dirinya. Ia tidak ingin durhaka, tapi ia juga tidak ingin mati perlahan.
“Kalau suami seharusnya menjaga istri, lalu untuk apa aku bersuami jika dibiarkan sakit terus?”
Pertanyaan seperti itu hanya lahir dari perempuan yang sudah kehabisan cara, bukan untuk pergi, tetapi untuk mengerti.
Dulu, Ayang pernah menulis belasan buku. Namun sudah lama ia tak menyentuh pena lagi. Ketika kuajak menulis untuk sebuah proyek buku kisah hubungan suci yang kandas, matanya berbinar. Tangannya sedikit gemetar. Katanya, ia senang ada pengalihan. Menulis seperti ruang napas baginya. Dan aku percaya, ia tidak sedang ingin lari. Menulis bukan pelarian. Menulis adalah perlawanan. Ia hanya ingin tetap hidup. Lewat kata-kata, cerita, dan napas yang belum sepenuhnya padam.
Aku tidak tahu ke mana langkah Ayang akan membawanya setelah ini. Namun satu hal kutahu, perempuan sekuat dia tidak seharusnya berjalan sendirian.
Jika kisah ini sampai padamu, mungkin kamu juga pernah merasa seperti Ayang. Merasa tak terlihat. Merasa bersalah hanya karena ingin bahagia. Merasa bodoh karena terus bertahan. Merasa takut dianggap durhaka hanya karena ingin sembuh.
Ketahuilah, kamu tidak sendiri. Dan kamu tidak salah.
Ayang..., semoga menulis menjadi doa panjangmu – doa yang tak lagi kau ucapkan lewat tangis. Biarlah kisahmu menjadi saksi bahwa kamu pernah jatuh, tapi tidak memilih menyerah.
Komentar
Posting Komentar