Kitir Sumilir: Surat Senja yang Ditiup Angin
Si ufuk jingga selalu punya caranya sendiri untuk memanggil kembali apa yang pernah hilang. Hari itu, suara Kitir Sumilir datang lagi, membawa suasana yang sulit dijelaskan. Seperti angin yang menyusup diam-diam, ia menggiringku pada ingatan akan sebuah sore ketika langit berwarna tembaga dan waktu seolah terhenti. Aku duduk sendirian, mendengarkan alunannya, lalu tanpa sadar seperti dilempar ke dalam sebuah ruang batin yang tak kuundang, pertemuan tanpa wajah, tanpa kata, tapi terasa nyata.
“Tak goleki ono ngendi si panjerino...”
(Kucari di mana engkau bersembunyi...)
Kalimat itu menusuk dengan tajam, bukan luka fisik, melainkan kerinduan yang tak bisa disebutkan. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang lebih besar dari sekadar nama atau bentuk. Saat itu aku teringat pada sosok-sosok yang pernah hadir dalam kisah lama, Sang Cahaya dan Sang Peletak Pondasi. Mereka bukan sekadar tokoh sejarah, tapi lambang perjalanan panjang tentang pedoman dan pengorbanan. Aku tak bisa menyebutnya gamblang, namun kehadirannya selalu samar-samar terasa di setiap bisikan doa dan cerita.
“Tak kirimi layang kitir, tak sampirke angin sumilir...”
(Kukirim surat, kusampaikan lewat angin yang berhembus pelan...)
Aku pernah menulis surat yang tak pernah dikirimkan ke mana-mana. Surat itu berupa doa, tercecer di antara malam-malam ketika hati sedang lelah mencari arah. Permintaanku sederhana: “Tunjukkan aku jalan. Karena aku lelah tersesat.” Dan sore itu, di sela sinden yang melengkung lembut, aku seperti mendengar balasan yang tidak memakai suara: “Kau sudah di jalan. Terus berjalan.” Sebuah keyakinan tiba-tiba mengetuk dada, seolah jawaban itu memang tidak pernah perlu datang dengan wujud, cukup sebagai ketenangan yang menyusup perlahan.
“Nggegem lintang ngrengguh endahe rembulan...”
(Menggenggam bintang, merengkuh keindahan bulan...)
Aku tahu aku bukan pencari yang gigih. Ada kalanya aku berhenti, ada kalanya aku tersungkur, bahkan ragu apakah langkah ini pernah benar. Tapi senja itu membuatku kembali mendongak, melihat bintang yang jauh, bulan yang bulat penuh. Aku sadar aku tidak akan pernah benar-benar meraihnya, namun mungkin yang lebih penting adalah keberanian untuk terus menggapai, walau hanya dengan doa. Karena bintang dan bulan itu bukan sekadar cahaya di langit, melainkan jejak dan tanda yang membuat langkah tidak sepenuhnya gelap.
Aku menuliskannya sebagai memoar, bukan kebenaran. Sang Cahaya dan Sang Peletak Pondasi biarlah tetap menjadi simbol, bukan nama. Kitir Sumilir hanyalah perantara, bukan tujuan. Yang penting adalah rasa yang tersisa: kerinduan, pencarian, dan keyakinan. Dan seperti angin sumilir itu sendiri. Ia ada, meski tak pernah bisa ditangkap.
Tulisan ini lahir sebagai refleksi dari tembang “Kitir Sumilir” karya Waljinah, yang tiba-tiba muncul di beranda YouTube-ku
Komentar
Posting Komentar