Tongkat Pel dan Sandaran Hidup


Ada pertemuan yang tidak direncanakan, tapi meninggalkan ruang hangat di kepala.

Hari ini, aku melihatmu. Bukan sekadar lewat layar, tapi cukup lama untuk menangkap warna asli yang kamu bawa.

Kamu live dengan caramu sendiri: otentik, tanpa topeng yang dibuat-buat. Kamu membiarkan momen kecil muncul apa adanya, bahkan ketika sebuah tongkat pel tiba-tiba terlihat di layar.
Alih-alih canggung, kamu menanggapinya dengan celetukan ringan: "Iya itu (tongkat pel).. biasa temen curhat, ama temen nyender, karena ngga punya pundak jadi kita nyendernya sama dia..."

Kalimat itu mengundang tawa, tapi juga punya kedalaman yang jarang orang sadari.
Tidak semua orang mau mengubah potensi “kesalahan” menjadi jembatan koneksi dengan audiensnya.
Kamu melakukannya dengan alami. Membuat semua orang merasa kamu tidak jauh dari mereka, membuat jarak layar itu mengecil.

Itulah salah satu hal yang membuatmu unik: kamu tidak takut menunjukkan sisi manusiawi. Kamu bisa memeluk momen tanpa merapikannya berlebihan. Kamu memberi ruang bagi orang lain untuk merasa diterima.

Buat orang-orang seperti aku, itu memberi rasa aman. Aman untuk hadir tanpa berpura-pura sempurna, aman untuk berbicara tanpa harus mengatur semua kata.

Aku tidak datang untuk menjadi penonton yang hanya memberi tepuk tangan,
atau pengagum yang melihatmu dari jauh.
Aku ingin menjadi bagian dari lingkar kecil orang-orang yang membuatmu merasa aman juga. Tempat kamu bisa melepaskan lelah setelah semua lampu padam.

Dan hari ini, di antara tawa, obrolan, dan tongkat pel itu. Bahwa ketulusan dan otentisitas punya cara sendiri untuk menginspirasi orang, bahkan hanya lewat momen sederhana… seperti tongkat pel yang jadi “sandaran hidup”. 

Aku melihat seseorang yang lebih dari sekadar enternainer unik.
Aku melihat manusia yang nyata,
dan aku rasa itu awal dari sebuah persahabatan yang baik.
Proud of you lah pokoknya. GWS Adel...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk