Pria dan Dua Sayap Hidupnya: Kebebasan dan Tanggung Jawab
Ada satu titik dalam hidup seorang pria ketika ia sadar bahwa kebebasan saja tidak cukup untuk membuatnya terbang, dan tanggung jawab saja tidak cukup untuk membuatnya kuat. Dua-duanya seperti sayap yang harus bergerak seimbang, jika tidak, hidup hanya akan berputar di lingkaran yang melelahkan. Aku pernah merasakan sayap itu lengkap—memiliki pasangan, anak-anak, rumah tangga—hingga suatu hari salah satunya patah. Sejak saat itu aku belajar, bahwa hidup setelah kehilangan bukan sekadar soal berani bebas, tapi juga berani bertanggung jawab atas arah baru yang harus ditempuh.
"Aku sudah pernah Allah kasih kesempatan punya pendamping selama satu dekade lebih, anak-anak yang lucu dan sehat. Tapi sejak pandemi itu, semua harus dilepas, sebuah perjalanan yang terhenti di tengah jalan. Sekarang aku sendiri. Dan itu nggak apa-apa. Karena di umur 40+, aku harus siap-siap untuk pulang. Tapi kadang keinginan semua kesenangan dunia itu (kumpul anak istri) masih muncul, sementara kesadaran ‘pulang’ juga mulai menyala."
Kutipan itu adalah gema dari batin seorang pria di ambang kedewasaan. Usia di mana hidup tidak lagi sekadar tentang "mengejar", melainkan menata ulang arah. Di satu sisi ada kebebasan: setelah berpisah, tidak ada lagi rutinitas rumah tangga yang mengikat. Ruang untuk memilih terbuka lebar. Bisa bekerja sesuai ritme, menentukan langkah tanpa kompromi, bahkan membuka hati atau menutupnya kapan saja. Namun di sisi lain ada tanggung jawab: anak-anak yang tetap butuh figur ayah, bisnis yang harus berjalan meski lesu, diri sendiri yang harus tetap berdiri tegak. Belum lagi tanggung jawab spiritual: menyiapkan bekal untuk pulang.
Mungkin banyak pria di usia 40+ merasakan hal yang sama: kebebasan terasa manis, tetapi sering kali kosong. Ada ruang untuk menikmati hidup, namun tanpa arah. Kebebasan bisa menjelma jadi candu. Sebaliknya, tanggung jawab memang berat, tetapi justru tanggung jawablah yang membuat langkah seorang pria terasa bermakna. Menafkahi, mendidik, membimbing, sekalipun dari jauh, adalah bentuk nyata dari peran maskulin yang tidak pernah bisa digantikan.
Dalam tradisi Islam yang aku yakini, kebebasan bukan berarti bebas dari aturan, melainkan bebas memilih untuk taat. Rasulullah ï·º bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Di titik ini, seorang pria menemukan kebebasan sejati bukan dengan menuruti semua hasrat, melainkan dengan mengarahkan dirinya pada manfaat yang lebih luas.
Luka masa lalu dan hasrat masa depan sering kali hadir bersamaan. Luka mengajarkan hati untuk berhati-hati, sementara hasrat mengingatkan bahwa jiwa masih hidup, masih ingin mencintai, masih ingin ditemani. Keseimbanganlah yang perlu dijaga. Bukan mematikan hasrat, juga bukan membiarkan luka jadi belenggu. Aku yakin, keduanya bisa menjadi guru: luka menumbuhkan kedewasaan, hasrat menjaga sisi manusiawi.
Usia 40+ ke atas bukan akhir, melainkan persimpangan yang indah. Senja bukan hanya tanda gelap yang mendekat, tetapi juga momen paling puitis dalam sehari. Di sinilah seorang pria belajar: menikmati dunia secukupnya tanpa diperbudak olehnya, menghadapi tanggung jawab dengan lapang dada karena justru di sanalah makna ditempa, serta menyiapkan diri pulang bukan dengan meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan dengan menjalani dunia dengan kesadaran fana (semua hanya sementara, pasti akan berakhir).
Kebebasan memberi ruang untuk bernapas, tanggung jawab memberi alasan untuk melangkah. Keduanya, bila dipeluk bersama, menjadikan hidup lebih seimbang.
Hidup di usia persimpangan bukan tentang memilih dunia atau pulang. Hidup adalah tentang bagaimana seorang pria bisa berdiri kokoh di tengah dunia, sambil tetap menyiapkan hati untuk kembali. Maka ketika rasa sepi datang, ketika hasrat dunia kembali berbisik, ingatlah: kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan meninggalkan kekosongan. Tapi tanggung jawab yang dijalani dengan "sadar", meski berat, akan membuat seorang pria merasa lengkap--baik sebagai manusia, maupun sebagai hamba.
Dan di situlah maskulinitas sejati bersinar: bukan pada seberapa keras dunia bisa ditaklukkan, tapi pada seberapa lapang hati menerima dunia apa adanya, sambil tetap menatap jalan pulang dengan tenang.
Komentar
Posting Komentar