Unfinished Croissant
Di sepertiga malam itu, aku bermimpi menulis sebuah buku. Bukan buku biasa. Tapi kisah nyata yang tak masuk akal, tentang hati manusia yang berlapis-lapis seperti croissant. Dalam mimpi itu, aku duduk di depan laptop, menatap kata demi kata yang lahir dari kepedihan dan doa.
Dalam mimpi itu aku berusaha menarasikan tentang seorang perempuan sederhana. Ia istri, ibu, anak, dan teman. Namun di dalam dirinya, ada luka lama yang tak pernah selesai. Sejak kecil, ia merasa cinta dan takut berbaur di satu ruang yang sama. Ia tumbuh menjadi perempuan penurut, menekan perasaan sendiri demi terlihat baik. Saat menikah, ia berharap menemukan surga. Tapi yang ia temukan justru dirinya semakin jauh dari dirinya sendiri.
Hidupnya seperti adonan croissant; dipukul, ditekan, dilipat berulang kali hingga membentuk lapisan-lapisan lembut yang rapuh. Ia menahan sakit hati, menelan penolakan, menambal harga diri yang sobek sedikit demi sedikit. Sampai suatu malam, ia merasa ingin menyerah. Ia mencari ketenangan di perhatian laki-laki lain, meski hanya sebentar. Namun mimpi buruk mendatanginya, air yang biasanya jernih menjadi kolam kotor penuh sampah. Ia sadar, satu kesalahan bisa menenggelamkan semua cahaya dalam jiwanya.
Buku Croissant ini bukan hanya tentang dia. Ini tentang kita semua, tentang hidup yang menekan kita berkali-kali, tentang dosa dan taubat, tentang bagaimana Allah melapisi hati kita dengan kelembutan setelah luka yang panjang. Sama seperti croissant yang tak akan menjadi lezat tanpa dipukul, ditekan, dilipat, dan dipanggang panas.
Aku terbangun setelah mimpi itu dengan dada sesak, tapi hangat. Mimpi itu terasa nyata sekali, seakan Allah sedang berkata pelan padaku: tuliskan kisah ini. Mungkin agar orang lain yang hidupnya berlapis luka merasa tak sendirian. Karena jika kita bawa pulang semua lapisan luka itu kepada Allah, Dia akan mengubahnya menjadi keindahan: seperti croissant, yang rapuh di luar, tapi lembut dan menguatkan siapa pun yang memakannya.
Komentar
Posting Komentar