Jangan Berharap Bahagia dari Pernikahan
Disclaimer: Jika tulisan ini membuat kamu ragu untuk menikah atau membatalkan niat nikah, lebih baik berhenti membaca sekarang. Tulisan ini hanya untuk mereka yang siap menikah dengan kesadaran penuh, bukan dengan angan-angan atau fantasi.
Lihatlah buku nikah kita. Tak ada klausul "saling memiliki", yang ada adalah kewajiban: suami menafkahi, istri mendampingi. Ini bukan kontrak kepemilikan, melainkan surat amanah. Pasangan kita bukan properti, tapi titipan Allah yang harus dijaga dengan iman dan ilmu. Akad nikah pun bukan sekadar perjanjian antar mempelai, melainkan perjanjian dua jiwa kepada Tuhannya (mitsaqan ghaliza).
Pernikahan juga bukan konsep jual beli yang transaksional, seolah “aku memberi maka aku harus menerima”. Jika seperti itu, hubungan akan penuh hitung-hitungan dan kekecewaan. Hakikatnya, pernikahan adalah konsep ikhlas. Memberi dengan lapang hati tanpa mengharap balasan selain ridho Allah. Karena saat semua didasari lillah, hati akan lebih ringan menerima kekurangan dan lebih lapang mensyukuri kebaikan pasangan.
Seperti kata Bunda Angga di salah satu live TikTok-nya, “Pasanganmu itu bukan hak milikmu, tapi ladang ibadahmu. Cara kamu memperlakukan dia, itulah cermin seberapa paham kamu sama makna pernikahan.”
Kita menikahi manusia, bukan karakter ideal. Hari ini penyayang, besok mungkin sibuk. Hari ini setia, besok mungkin diuji. Masalahnya bukan pada perubahan pasangan, tapi pada ekspektasi kita yang terlalu sempurna. Jika kita mencintai karena Allah, kita akan belajar ikhlas menerima ketidaksempurnaan.
Seperti ibadah lainnya, pernikahan tak selalu enak. Puasa itu lapar, haji itu lelah. Tapi justru di situlah nilainya. Sabar saat pasangan tak sesuai harapan adalah jihad (jiwa). Bersyukur saat bahagia adalah ibadah. Memahami saat dia berubah adalah hikmah.
Cinta dewasa bukan berkata "kau buat aku bahagia", tapi "aku memilih bertahan meski tak selalu senang". Bahagia itu bonus, bukan tujuan. Yang utama adalah ketenangan jiwa (mutmainah) dan kedamaian hati (sakinah) yang muncul dari kesadaran bahwa semua adalah ujian dari-Nya.
Allah tak menjanjikan pernikahan bahagia, tapi Dia berikan ketenangan bagi yang sabar. Seperti pelaut yang tak takut ombak karena yakin dengan kompasnya, pernikahan mengajarkan kita untuk tenang meski dalam badai. Karena hakikatnya, kita berjalan bersama menuju Allah, bukan mengejar kebahagiaan semu.
Aku menulis ini bukan sebagai ahli yang sempurna, melainkan sebagai pejalan yang pernah tersandung, jatuh, lalu bangkit lagi. Pernikahan telah mengajariku bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang merawat amanah. Bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang kesabaran. Dan yang terpenting, bahwa ketenangan sejati hanya datang ketika kita meletakkan segala harapan hanya kepada-Nya.
Kadang aku masih terjatuh, tapi kini aku tahu cara bangkit. Kadang aku masih kecewa, tapi kini aku paham itu bagian dari proses. Karena sesungguhnya, pernikahan itu bukan tentang dua orang yang sempurna, tapi tentang dua jiwa yang saling mengingatkan untuk terus mendekat kepada Yang Maha Sempurna.
Komentar
Posting Komentar