Siapa yang Layak di Mata Tuhan?


Aku sering mengingat dua potong kisah yang sederhana tapi sungguh mindblowing.

Satu tentang seorang wanita yang menyiksa seekor kucing hingga mati. Ia masuk neraka karenanya.
Satu lagi tentang seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing kehausan. Ia diampuni dosa-dosanya dan masuk surga.

Keduanya sama-sama perempuan.
Keduanya sama-sama makhluk lemah yang berinteraksi dengan makhluk lemah lainnya.
Bedanya hanya pada sikap hatidan ternyata, di situlah garis tipis surga dan neraka membentang.

Beberapa tahun terakhir, aku bertemu banyak orang yang kisahnya jauh dari “template” manusia saleh versi buku pelajaran agama.
Ada yang pernah berikrar meninggalkan iman.
Ada yang memeluk keyakinan lain dengan bangga.
Ada yang hidup di tengah sorotan, keindahan tubuhnya diabadikan kamera-kamera, lingkaran sosialnya penuh lawan jenis, tapi setelah pertunjukan usai, masih rajin sholat dan berdzikir.

Di satu sisi, aku ingin menjaga jarak. Takut terpengaruh, takut ikut larut.
Di sisi lain, aku melihat kerumitan yang tak bisa sekadar diberi label “baik” atau “buruk”. 

Dari luar, kita bisa menilai perilaku. Tapi isi hati? Itu ruang yang bahkan kadang pemiliknya sendiri tak sepenuhnya paham.
Mungkin orang yang tampak jauh dari Tuhan sedang berperang mati-matian melawan keputusasaan.
Mungkin yang tampak taat sebenarnya lelah dan kering, tapi tetap bertahan karena hanya itu yang ia tahu.

Aku belajar, penampilan hanyalah kulit tipis.
Yang di dalamnya mungkin terselip rasa syukur, luka batin, kebiasaan masa kecil, dan keputusan-keputusan impulsif. Membentuk mosaik yang hanya Allah yang benar-benar bisa menilai. 

Berinteraksi dengan mereka membuatku berdiri di dua dunia. Dunia yang ingin merangkul tanpa menghakimi. Dunia yang takut kehilangan prinsip dan batas spiritual sendiri.

Akhirnya aku mengerti: merangkul tidak harus berarti menyetujui.
Menjaga batas tidak harus berarti menghakimi.

Ada cara untuk tetap menjadi cahaya kecil. Tidak memaksa orang melihat terang, tapi memastikan jika suatu saat mereka mencarinya, kita masih ada di sana. Mungkin seperti lampu jalan di perempatan Tugu Jogja.. yang istimewah itu...😂

Dua kisah. Wanita pengurung kucing dan pelacur pemberi minum anjing. Kini seperti kompas moral bagiku.
Mereka mengingatkan bahwa di hadapan Tuhan, urusannya bukan soal “siapa kita di mata manusia”, tapi siapa kita di saat tak ada yang melihat.
Kadang, sebuah kebaikan kecil yang tulus bisa melampaui gunungan dosa.
Kadang, sebuah kekejaman kecil bisa meruntuhkan gunungan amal.

Aku tidak lagi ingin cepat memberi label apalagi memvonis...
Aku ingin belajar melihat manusia dengan mata yang penuh rasa ingin tahu, bukan mata yang lapar menghakimi.
Karena siapa tahu, di mata Tuhan, mereka yang kukira tersesat justru sedang berada di jalan pulang. Sedang aku...
Masih termangu di bibir jurang...

Disclaimer: tulisan ini terinspirasi dari paradoks hadist shahih Bukhori dan Muslim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk