Tangga Jiwa Ronggowarsito: Antara Laku dan Rahmat
Ada dialog yang membuat kita merasa ditantang, namun justru karenanya kita bertumbuh. Salah satunya adalah percakapan panjang saya dengan Mas Hasyim, seorang sahabat yang mendalami patrap dan laku spiritual Jawa-Islami. Kami sepakat banyak hal, tapi tidak sedikit pula kami berbeda cara memandang. Bukan untuk saling mengoreksi, tetapi untuk saling menyingkap tabir kebenaran yang berlapis-lapis.
Dalam sebuah diskusi yang hangat namun tajam, kami membahas tujuh lapisan manusia yang diadaptasi dari pemikiran Ranggawasita, semacam tangga kesadaran spiritual: 1. Jasad, 2. Nafsu, 3. Akal, 4. Hati, 5. Ruh, 6. Sirr, dan 7. Urip. Konsep ini bukan sekadar teori, tapi peta untuk mengenali gejolak dalam diri, tentang siapa kita sebenarnya dan ke mana arah pulang kita.
Kami berdua percaya bahwa hidup ini adalah perjalanan mendaki kesadaran. Setiap lapisan diri ibarat anak tangga, dan seseorang tidak bisa naik ke tangga berikutnya jika belum mengurai dan menuntaskan konflik di tangga sebelumnya. Tidak ada jalan pintas. Naik turun itu wajar, bahkan perlu. Karena dalam turunnya kesadaran, seringkali ada pelajaran yang lebih dalam dari sekadar naik yang lurus dan mulus.
Kami juga sepakat bahwa tidak ada manusia yang benar-benar tahu posisi rohaninya saat ini kecuali dirinya sendiri, dan bahkan itu pun butuh kejujuran yang brutal. Dunia bisa saja melihat seseorang sebagai orang suci, padahal dalam dirinya penuh kelicikan. Atau sebaliknya, dunia mencaci seseorang karena masa lalunya, padahal batinnya sudah menembus kabut dan menyala terang.
Ketika saya bertanya, "Apakah mungkin seseorang di level kesadaran tinggi tetap bisa tergelincir dalam maksiat, tapi di dalam dirinya justru mengalami kesadaran yang tajam dan reflektif?"
Mas Hasyim menjawab tegas, "Kalau sudah maksiat, ya itu tandanya belum eling. Masih ada lapisan sebelumnya yang belum selesai. Kalau sudah benar-benar berada di ruh, mana mungkin jasadnya bertindak maksiat."
Saya mengangguk, tapi tak sepenuhnya setuju. Karena dalam pengalaman saya, taubat yang paling jujur justru lahir dari kejatuhan yang paling gelap. Ada saat-saat di mana jasad melakukan hal yang memalukan, namun hati di dalamnya menangis, dan ruh justru menjerit ingin kembali. Bukankah pelacur dalam hadis yang memberi minum anjing saja bisa masuk surga? Bukankah Umar bin Khattab yang keras bisa berubah menjadi pelita umat?
Saya tidak membenarkan maksiat, tentu saja. Tapi saya percaya bahwa rahmat Allah tidak selalu mengikuti logika struktural kita. Kadang Ia menyentuh dari arah yang tak disangka-sangka—melalui kesalahan, luka, bahkan kebodohan.
Sebagai orang yang banyak bergumul dengan psikologi dan spiritualitas, saya melihat bahwa kesadaran manusia itu bukan garis lurus, tapi gelombang. Seperti grafik emosi, kadang naik ketika diuji, kadang justru turun saat merasa aman. Lapisan jiwa bukan sekadar urutan, tapi lebih seperti zona yang bisa saling tumpang tindih.
Ada orang yang sedang di lapisan ruh, namun masih berproses menyembuhkan luka nafsu yang belum pulih. Ada orang tampak berada di jasad, namun sudah dipenuhi bisikan Nur. Itulah paradoks jiwa: terluka tapi tercerahkan, terjatuh tapi terjaga.
Mas Hasyim mengingatkan saya, "Kalau memang sudah naik ke Nur, harusnya perilaku juga berubah. Karena ruhani itu bukan pengetahuan, tapi laku."
Saya setuju. Tapi saya tambahkan, kadang laku itu bukan bentuk perilaku luar, tapi getar batin yang hanya Allah dan orang itu sendiri yang tahu. Ada laku yang kasat mata, dan ada laku yang terjadi dalam diam, dalam gemetar dada, dalam air mata yang tidak terlihat siapa-siapa.
Kami berdiskusi panjang. Tidak ada yang ingin menang, tidak ada yang memaksa. Hanya dua jiwa yang ingin memahami misteri jalan hidup yang tidak pernah bisa benar-benar dipetakan.
Akhirnya kami sepakat untuk tidak sepakat.
Karena kebenaran rohani bukan soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling jujur pada perjalanannya.
"Dan jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikannya. Dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 7–10)
Jika kamu sedang merasa jatuh, mungkin bukan karena kamu hina. Bisa jadi kamu sedang berada di soal yang paling sulit dari perjalanan jiwamu. Dan kalau kamu sedang naik, ingatlah untuk tidak merendahkan yang sedang jatuh. Bisa jadi, mereka adalah kamu di masa depan, tapi dengan versi yang lebih jujur.
Semoga kita semua terus belajar mendaki. Dengan hati yang jernih, dan mata yang tak buta oleh ego.
Komentar
Posting Komentar