Membunuh Tuhan: Ketika Luka Jadi Agama Baru
Aku pernah mengenal seorang perempuan yang katanya pernah begitu mencintai Tuhan. Dahulu ia seorang Muslim, lalu berpindah keyakinan, dan pada akhirnya memilih untuk tidak percaya lagi. Bukan karena filsafat. Bukan karena ilmu. Tapi karena luka: “Kalau Tuhan itu ada, kenapa aku dibuang oleh orang tuaku? Kenapa aku diperkosa? Kenapa anak sulungku mati? Kenapa aku dikhianati orang yang kupercaya? Kenapa aku ditinggalkan sendiri oleh mereka yang kucintai? Kenapa hidupku hancur begitu saja?” Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lahir dari hati yang congkak. Justru sebaliknya, lahir dari jiwa yang remuk; penuh amarah yang tak pernah sempat tertumpahkan, dan kecewa yang terlalu lama dipendam. Dia bukan orang jahat. Dia cerdas, memesona, bahkan menyebut dirinya seorang coach penyintas trauma. Tapi di balik semua gelar, semua konten, dan parade cerita masa lalunya, aku melihat kekosongan yang begitu sunyi. Seolah semua pencapaian itu adalah caranya berteriak, tanpa suara: “Aku masih ada. Aku mas...