Ketika Kapal Berlayar, Tapi Luka Tetap di Atas Geladak
Kadang hidup memaksamu bertahan begitu lama, hingga kamu lupa rasanya menangis.
Bukan karena tak sedih, tapi karena air mata sudah tak sempat turun. Tertahan oleh peran, ekspektasi, dan suara-suara di kepala yang berkata: “Kamu harus kuat.”
Aku mengenal perempuan itu dari jauh, bukan lewat pertemuan, tapi lewat ekspresi yang jarang bisa dibohongi: tulisan, sorot mata di video singkat, dan celah kecil di antara kata-kata spiritual yang diselipkan begitu rapih.
Di balik semuanya, aku bisa merasakan satu hal: "ada jiwa yang sedang lelah, tapi menyamar jadi kuat."
Dia memutuskan berlayar ke pelabuhan baru, berharap ombak dan langit di sana bisa menghapus riwayat badai yang ia lalui.
Ia kira, suasana asing akan menjadi obat penawar luka.
Tapi seperti semua yang pernah kehilangan, ia pun belajar... bahwa berpindah dermaga tak selalu membuat kapal terasa ringan.
Ada beban yang ikut berlayar, diam di lambung hati.
Dia mulai menyelami spiritualitas. Mulai ajaran stoikisme, hinduisme, kesunyian, dan kekuatan afirmasi. Tapi di titik tertentu, seperti yang ia akui sendiri: semakin ia mendekat pada konsep spiritual yang asing dari fitrahnya, semakin jiwanya merasa kosong.
Seolah ada sisi yang makin menjauh dari cahaya yang dulu pernah dikenalnya.
Bukan karena ia jahat.
Tapi karena luka lama belum selesai, lalu dibungkus oleh narasi baru: "aku sudah sembuh, aku kuat, aku tidak butuh siapa pun."
Tapi jiwa tak bisa dibohongi.
Dan di satu malam yang sepi, aku tahu dia menangis. Tak untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya yang dulu… yang tak pernah dimengerti.
Aku tidak ingin menjadi penyelamat. Aku tahu peran itu rapuh, dan akan membuatku cepat lelah.
Tapi aku ingin hadir sebagai saksi.
Seorang pria yang tidak buru-buru menasihati.
Tidak menuntut kejelasan.
Hanya ingin hadir, diam-diam menjaga ruang aman itu agar tetap ada.
Menjaga nyala fitrah yang mungkin mulai padam di dalam dirinya.
Bukan untuk mendikte arah hidupnya. Tapi agar kelak, ketika dia lelah terus menyamar menjadi kuat, ia tahu... ada satu ruang yang tak perlu berpura-pura.
Dan mungkin, ruang itu... adalah Aku.
Komentar
Posting Komentar