Air Laut di Dalam Kapal: Menjaga Batas dalam Ikatan Sakral


Beberapa waktu lalu, dalam percakapan yang tak sengaja terjadi antara dua orang yang sama-sama lelah menjalani hidup rumah tangga, terucap sebuah kalimat yang tak mudah dilupakan:

“Semuanya baik-baik saja... sampai hal-hal dari luar mulai masuk terlalu dalam.”

Tak ada kemarahan dalam kalimat itu. Hanya suara datar yang penuh jeda. Tapi aku paham betul apa yang sedang dimaksud. Pernikahan mereka tak retak karena pertengkaran besar atau kesalahan fatal. Tapi karena ada sesuatu dari luar yang dibiarkan terlalu lama berada di dalam.

Aku jadi teringat satu filosofi lama: 

Air laut sebanyak apapun takkan menenggelamkan kapal, kecuali jika ia masuk ke dalamnya.

Dalam konteks pernikahan, air laut adalah segala hal yang datang dari luar: tekanan keluarga besar, tuntutan sosial, campur tangan yang berlebihan, luka masa lalu, atau ekspektasi yang tidak pernah dibicarakan. Sementara kapal adalah rumah tangga itu sendiri. Ruang yang seharusnya aman, tertutup, dan saling menjaga.

Masalah dari luar memang tak bisa dihindari. Tapi ketika batas antara “kita” dan “mereka” tak dijaga dengan jelas, kapal yang kuat pun perlahan mulai bocor.

Dari sudut pandang psikologi, ini disebut dengan "batas emosional". Kemampuan untuk membedakan mana yang menjadi tanggung jawab pribadi, mana yang perlu disaring sebelum sampai ke pasangan. Pernikahan yang sehat bergantung pada seberapa baik pasangan membangun pagar-pagar halus tapi kokoh ini.

Dalam Islam, konsep ini pun selaras. Allah menyebut pernikahan sebagai “mitsaqan ghaliza”, sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan yang tidak hanya dibangun dengan rasa suka, tapi juga dijaga dengan tanggung jawab, adab, dan kejelasan peran.

Pernikahan bukan milik orang tua, bukan milik lingkungan, bukan milik publik. Ia milik dua orang yang memilih untuk saling berjuang, saling memperbaiki, saling menahan diri dari merusak.

Jika segala hal dari luar, meski berniat baik, selalu diakomodasi tanpa disaring, maka rumah akan kehilangan bentuknya. Pasangan kehilangan perannya. Dan cinta perlahan kehilangan rasanya.

Bukan berarti menolak masukan, apalagi memutus hubungan dengan keluarga. Tapi ada waktu ketika seseorang harus mampu berdiri dan berkata, “cukup sampai di sini.” Karena mempertahankan pernikahan bukan soal membenarkan semua pihak, tapi soal memilih prioritas dengan adil dan sadar.

Ada masa di mana seseorang harus lebih memilih keutuhan pasangannya daripada menyenangkan semua orang.

Setiap kapal akan menghadapi gelombang. Tapi yang menyelamatkan bukan ukuran kapalnya, melainkan ketegasan untuk menutup setiap celah yang membuat air masuk.

Pernikahan pun begitu. Bukan tentang menghindari masalah dari luar, tapi tentang bagaimana bersama-sama menjaga agar yang di luar tidak mengambil alih yang di dalam.

Dalam dunia yang penuh suara dan tekanan, menjaga batas bukan berarti keras kepala. Tapi justru bentuk paling jujur dari perlindungan dan cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk