S-Line: Ketika Nafsu Fomo Menggoda Kita untuk Membuka Aib
Aku pernah membayangkan sebuah dunia di mana tiba-tiba, muncul garis merah di atas kepala setiap orang, membentang hingga punggung mereka, menghubungkan siapa saja yang pernah terlibat dalam hubungan intim. Ide ini pertama kali kutemui dari drama Korea terbaru, S Line (2025). Awalnya hanya fiksi, tapi sekarang viral di TikTok dan menimbulkan kehebohan.
Jujur, aku ikut terpikir. Bukan karena aku percaya garis itu nyata, tapi karena betapa kuatnya ide fiksi ini sampai bisa mengguncang realitas sosial kita. Fenomena pro dan kontra yang muncul menampakkan satu hal: betapa media sosial telah menjadi ruang di mana realitas dibangun dan dibongkar setiap hari, membuat kita semakin terobsesi pada privasi, sesuatu yang kita sendiri bingung mendefinisikannya. Sekaligus takut pada penilaian publik.
Aku teringat komentar seorang tokoh masyarakat yang kutemui di timeline-ku:
"Tuhan sudah menutup aib, kenapa malah dibuka di sosmed dengan komedi? Ini bentuk kebodohan perilaku yang harus dihentikan."
Komentar itu sedikit menampar, mengingatkanku pada sesuatu yang sering kita lupakan: dalam tradisi Islam, ada prinsip agung sitr al-aib, menutupi aib. Allah SWT adalah As-Sattar, Yang Maha Menutupi. Di situlah letak kasih sayang-Nya. Ia memberi ruang untuk bertaubat, menutup kesalahan kita dengan kelembutan dan rahmat-Nya.
Aku merenung, ketika kita mengubah sesuatu yang seharusnya menjadi ruang privat antara manusia dan Tuhannya menjadi bahan komedi di media sosial, apakah kita sedang melanggar kebijaksanaan ilahi itu? Apakah kita tanpa sadar sedang merampas hak seseorang untuk menjaga rahasianya sendiri?
Di sisi lain, konsep garis merah ini mengingatkanku pada jejak yang ditinggalkan setiap perbuatan kita. Baik dalam ajaran Hindu tentang karma, maupun dalam Islam tentang amal baik dan buruk, keduanya menegaskan satu hal yang sama: setiap tindakan punya konsekuensi.
Aku teringat ayat dalam Al-Qur’an yang menenangkan sekaligus menegur:
"Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." (QS Al-Isra’ 7).
Dalam tradisi Islam, zina bukan hanya dosa akhirat. Ia membawa konsekuensi duniawi: penyakit, rusaknya tatanan keluarga, hilangnya kepercayaan, dan terkadang trauma yang sulit pulih. Anak cucu memang tak menanggung dosa orang tuanya, tapi mereka bisa terkena dampak sosial dan lingkungan dari pilihan-pilihan yang pernah dibuat sebelumnya. Ini adalah mekanisme pencegahan alami yang diingatkan agama, agar kita tak menganggap remeh setiap jejak yang kita tinggalkan.
Maka, ketika melihat tren “S Line” ini di TikTok, aku bertanya pada diriku sendiri:
“Akankah kita membiarkan realitas digital kita terus dibentuk oleh sensasi-sensasi yang perlahan mengikis nilai luhur kita?”
Atau, mungkin, kita bisa memilih jalan yang lebih bijak. Menjadi manusia yang menghargai ruang pribadi orang lain dan dirinya sendiri. Menjadi manusia yang berempati tanpa menghakimi. Menjadi manusia yang sadar bahwa setiap unggahan, setiap komentar, dan setiap candaan kita meninggalkan jejak, entah jejak kebaikan, atau jejak yang membuat orang lain kehilangan harga dirinya.
Aku percaya, kita semua bisa memilih. Biarlah garis merah itu tetap menjadi fiksi di layar kaca. Sementara kita, aku dan kamu, berfokus membangun moralitas digital yang kokoh, berlandaskan kasih sayang, tanggung jawab, dan nilai-nilai yang kita sepakati bersama.
Bukankah itu tujuan kemajuan sejati?
Komentar
Posting Komentar