Bukan Aktor Utama: Saat Aku Belajar Menyaksikan Takdir dan Melepaskan Naskahku Sendiri
Kata-kata itu membuatku diam cukup lama. Aku mulai menyadari betapa sering aku bereaksi bukan kepada kenyataan yang sedang terjadi tetapi kepada luka lama yang kubawa ke masa kini. Aku pikir itu bentuk kewaspadaan padahal sesungguhnya aku hanya mengulang pola pertahanan diri yang sama. Kang Abu menambahkan ilustrasi yang begitu jelas. Naik haji tanpa kesadaran hanyalah perjalanan fisik, “Tuhan kan tidak duduk di Ka’bah?” katanya. Sholat tanpa ruh hanyalah senam lima waktu, tidak ada kerinduan sejati kepada Sang Pencipta. Dan di titik itu aku mulai merenung tentang peranku di dunia ini.
Aku teringat firman Allah, “Kamu adalah saksi-saksi bagi manusia” dalam QS. Al-Baqarah ayat 143 dan “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung lalu dipikul oleh manusia” dalam QS. Al-Ahzab ayat 72. Dua ayat ini seperti menyatukan semua yang dikatakan Kang Abu. Aku bukan aktor utama dalam hidupku. Allah adalah yang menulis dan menyutradarai semua adegan melalui Kun Fayakun. Peranku hanya dua, menjadi penyaksi yang mengakui bahwa realitas ini adalah ciptaan segar dari Allah, dan menjadi penanggungjawab yang memastikan responku sejalan dengan nilai yang Dia ajarkan. Di sini aku paham bahwa fleksibilitas adalah wujud kesadaran, kemampuan untuk menyesuaikan sikap dengan ciptaan Allah yang terus berubah setiap detik.
Kesadaran itu juga mengajarkanku menerima dualitas yang Allah ciptakan. Hidup dan mati, senang dan susah, sehat dan sakit, semuanya bukanlah lawan yang saling mengalahkan, melainkan pasangan yang datang dari sumber kebaikan yang sama. Menolak salah satunya berarti menolak sebagian dari ciptaan-Nya. Mungkin di sinilah sumber neraka diri yang sering kualami, aku terlalu sibuk memastikan hidup berjalan sesuai versi sempurnaku sendiri. Aku lupa bahwa tugasku bukan memastikan cerita ini mengikuti naskahku, melainkan memastikan aku memerankan bagianku dengan benar, apapun yang terjadi di panggung.
Mulai hari ini, setiap kali realitas tak sesuai rencana, aku ingin ingat kata Kang Abu. Allah setiap detik menciptakan takdir. Fleksibilitas itu kunci. Neraka diri muncul saat aku memaksa realita tunduk pada masa lalu atau rencana pribadiku. Aku mulai belajar bahwa menjadi penyaksi bukan berarti diam, dan menjadi penanggungjawab bukan berarti mengatur segalanya. Hidup ini bukan tentang memastikan semua adegan berjalan mulus, tapi tentang hadir di setiap adegan dengan hati yang sadar, tangan yang bekerja, dan jiwa yang percaya. Karena setiap detik adalah ciptaan baru, dan di setiap ciptaan itu Allah selalu baik.
Komentar
Posting Komentar