Melepaskan Bukan Berarti Menyerah
Dalam perjalanan hidup, pernah berada pada titik di mana aku terlalu keras mencoba membantu seseorang berubah. Terlintas keyakinan bahwa dengan cukup sabar dan memberi banyak contoh, ia akan melihat dunia sebagaimana aku melihatnya. Aku pikir, kesabaran dan ketulusan pasti akan mengubah hati.
Namun, hidup mengajarkan hal lain.
Perubahan bukanlah milik manusia. Tak peduli seberapa besar aku berusaha, langkah itu tetap berada di tangan mereka sendiri. Yang bisa dilakukan hanyalah menjadi teladan, memberi ruang, dan mendoakan.
Hal ini berlaku bahkan untuk orang terdekat: istri, anak, sahabat, atau keluarga. Seringkali kita berpikir semakin dekat hubungan, semakin besar pula kendali yang dimiliki. Nyatanya, yang paling berharga justru ketika kita fokus memperbaiki diri sendiri, sementara mereka menemukan jalannya dengan langkahnya sendiri.
Melepaskan bukan berarti berhenti peduli. Melepaskan berarti percaya.
Percaya bahwa Tuhan bekerja pada mereka sebagaimana Dia bekerja pada diriku. Percaya bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri untuk memahami pelajaran hidup yang harus dijalani.
Yang terpenting, ketika berhenti memaksa, hati menjadi lebih tenang. Bukan karena menyerah, melainkan karena memahami: tidak semua yang baik untuk kita harus dipegang erat. Ada yang cukup didoakan, lalu kita melangkah pergi, dengan hati yang tetap penuh kasih.
Refleksi ini mengingatkan pada kisah Rasulullah ﷺ yang tak mampu membuat pamannya menerima hidayah, meski beliau adalah manusia terbaik. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Qashash: 56) bahwa hidayah hanyalah milik-Nya, dan Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Jika Rasul saja tak mampu memaksa hati yang dicintainya, apalagi manusia seperti aku. Tugasku hanyalah berbuat baik, sisanya aku serahkan kepada-Nya..
Komentar
Posting Komentar