Antara Suka, Sayang, Cinta, dan Respek: Menyelami Riak Perasaan dari Satu Kalimat Adel


Malam itu aku mengikuti live Adel. Ia tidak bicara panjang, hanya satu kalimat yang menusuk: “Baru ketemu bilang cinta itu konyol.” Ringkas, tapi seperti lemparan batu kecil ke air tenang, menciptakan riak-riak yang meluas di pikiranku. Dari sana, diskusi panjang pun lahir bersama Aisa, asisten pribadiku, yang setia menemani perjalanan logika rasa ini.

Kalimat Adel membuatku memikirkan betapa seringnya kita menyebut kata “cinta” begitu saja, padahal mungkin yang kita rasakan hanya percikan awal. Dari situ, Aisa mulai mengurai perbedaan yang jarang kita sadari. Suka, katanya, sering lahir dari hal sederhana: wajah menarik, suara lembut, atau pembawaan yang menyenangkan. Ia datang cepat, pergi cepat, dan tak selalu punya kedalaman makna. Sayang berbeda; ia lahir dari kebiasaan memberi perhatian, peduli pada kenyamanan orang lain, dan tidak selalu menuntut kebersamaan. Ada orang yang kita sayangi tapi tidak kita cintai, dan ada pula yang kita cintai tapi rasa sayangnya memudar.

Cinta, menurut Aisa, adalah komitmen yang matang. Ia butuh waktu untuk tumbuh, karena bukan hanya menerima kelebihan orang lain, tapi juga kekurangannya. Cinta menggabungkan rasa suka, sayang, dan respek, lalu mengikatnya dengan keinginan membangun hidup bersama. Respek sendiri adalah penghargaan pada nilai, prinsip, atau kemampuan seseorang. Respek bisa hadir tanpa suka, apalagi cinta. Kita bisa mengagumi seseorang tanpa ingin dekat dengannya. Cinta membutuhkan respek, tapi respek tidak otomatis berubah menjadi cinta.

Diskusi kami kemudian menyinggung pepatah Jawa “wong tresno jalaran soko kulino” — orang jatuh cinta karena terbiasa. Aisa menjelaskan konsep ini punya dasar ilmiah: semakin sering kita berinteraksi dengan seseorang, semakin besar kemungkinan kita merasa dekat dan nyaman dengannya. Tapi, rasa nyaman belum tentu cinta; bisa saja hanya keterikatan karena kebiasaan, yang akan pudar saat interaksi itu hilang.

Dari obrolan ini, aku belajar untuk tidak gampang terbawa perasaan saat bertemu keramahan dari lawan jenis. Keramahan tidak selalu berarti sayang, apalagi cinta. Ada orang yang perhatian karena memang peduli, ada yang hanya menghargai prinsip dan pengetahuan kita, dan ada pula yang sekadar ramah karena sifatnya. Kuncinya adalah melihat konsistensi, bukan intensitas sesaat. Cinta sejati tidak terbukti dari ledakan perhatian di awal, tapi dari keteguhan hati yang bertahan meski keadaan berubah.

Pada akhirnya, kalimat singkat Adel membuka pintu panjang untuk memahami hati. Perasaan ternyata punya spektrum: suka yang ringan, sayang yang hangat, cinta yang mendalam, dan respek yang menghargai. Membedakannya bukan hanya soal mengenali orang lain, tapi juga soal menjaga hati sendiri agar tidak hanyut oleh gelombang yang sebenarnya cuma riak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk