Nur Muhammad & Nabi Muhammad: Obrolan Tertunda dengan Gus Hasyim

Percakapan ini bermula dari tulisanku di blog Kun Fayakun: Dualitas dan Fleksibilitas Kehendak Ilahi. Tak lama, notifikasi WhatsApp muncul. Pesan singkat dari Gus Hasyim, teman baik sekaligus senior yang sering menantangku berpikir out of the box. Obrolan mengalir panjang, dan inilah rangkuman refleksinya.

Sebelumnya izinkan aku memberi disclaimer: jika membaca ini tidak menambah cinta kita kepada Allah dan Rasulullah ﷺ, sebaiknya berhenti di sini. Bukan untuk menang pendapat, melainkan untuk merawat kecintaan yang utuh; hakikat dan syariat yang berjalan beriringan.

Dalam sebagian tradisi tasawuf, terutama jalur kejawen, Nur Muhammad dipahami sebagai ciptaan pertama Allah sebelum ada materi, waktu, dan ruang. Ada atsar yang sering dirujuk, “Yang pertama Allah ciptakan adalah cahayaku” meski status riwayatnya diperdebatkan. Nur ini digambarkan sebagai cetak biru penciptaan: maksud awal dan jalur perantara dari dimensi pra-eksistensi menuju alam nyata.

Urutannya seperti ini: Zat Allah yang tidak bermula, kemudian kehendak-Nya (kun), lalu terjadilah (fayakun) ciptaan pertama yaitu Nur Muhammad. Dari cahaya ini, seluruh alam, ruh, dan materi mendapat bentuk. Analogi filosofisnya mirip konsep logos dalam filsafat Yunani, namun di sini logos itu adalah Nur Muhammad.

Gus Hasyim mengingatkan, istilah Al-Qur’an Qadim bukan mushaf yang kita pegang, melainkan firman Allah dalam hakikat azali, ilmu Allah yang tidak bermula, yang bagi sebagian hamba dapat “dibaca” dalam batin. Dari perspektif filsafat Islam, Nur Muhammad adalah penampakan pertama yang memuat potensi seluruh ciptaan.

Hubungannya dengan Nabi Muhammad di dunia adalah seperti rencana arsitek dan bangunan fisik. Nur Muhammad adalah rancangan agung, Nabi Muhammad adalah perwujudan sempurnanya. Al-Qur’an menegaskan beliau sebagai teladan terbaik dan rahmat bagi seluruh alam. Selaras dengan konsep cahaya yang menjadi sumber rahmat. Sulit membayangkan tujuan penciptaan yang kosmik hanya terikat pada sosok manusia historis tanpa dimensi asal yang mendahuluinya.

Dalam tasawuf, semua nabi berasal dari satu cahaya tauhid, namun Nabi Muhammad adalah kristalisasi terakhirnya, penyempurna seluruh risalah. Keberatan muncul karena perbedaan lapisan eksistensi: hakikat awal dan manifestasi sejarah. Padahal, menolak kaitannya sama saja menolak bahwa penulis punya rancangan sebelum novelnya dicetak.

Aku sering mengibaratkannya seperti konser. Nur Muhammad adalah proposal dan rancangan panggung. Para nabi sebelumnya adalah band pembuka. Nabi Muhammad adalah band inti yang menuntaskan visi awal itu. Tanpa band inti, persiapan kehilangan puncak; tanpa proposal, band inti takkan punya panggung.

Jika diringkas: Nur Muhammad adalah rancangan agung Allah, Nabi Muhammad adalah perwujudan sempurnanya dalam sejarah.

Dari obrolan itu aku belajar, perbedaan tafsir tidak harus merenggangkan persaudaraan. Hakikat harus menuntun syariat, syariat harus meneguhkan hakikat. Semoga kita dianugerahi taufik untuk mencintai Allah dan Rasulullah ﷺ sebagai satu paket utuh. Dengan penghayatan yang hidup dan ketaatan yang nyata.

Allahumma sholli wasallim 'ala nabiyyina Muhammad..🤲

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk