Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Bertemu di Simpang: Coretan Fiksi Romansa

Gambar
Ada persimpangan di kaki gunung yang tidak tercantum di peta manapun. Tempat dimana dua jiwa yang terluka bertemu, masing-masing membawa ransel penuh dengan pecahan masa lalu dan harapan yang nyaris pudar. Aku tidak pernah menyangka bahwa luka bisa menjadi kompas. Bertahun-tahun aku berjalan dengan kaki yang pincang, bukan karena cedera fisik, tapi karena beban emosional yang kutarik sejak masa kecil. Setiap langkah terasa berat, setiap tanjakan seperti gunung Everest yang tak terjamah. Lalu dia datang. Dengan napas tersengal dan mata yang mencerminkan kelelahan yang sama seperti milikku. Kami berdua berhenti di persimpangan itu, tidak karena tersesat, tapi karena intuisi yang mengatakan: ini tempatnya . Ketika Luka Bertemu Luka "Kamu juga sedang mendaki sendirian?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri daripada kepadanya. Dia tersenyum, senyum yang kukenal baik, senyum orang yang sudah terlalu sering menyembunyikan rasa sakit. "Sepertinya kita membawa peta yang sam...

Air Laut di Dalam Kapal: Menjaga Batas dalam Ikatan Sakral

Gambar
Beberapa waktu lalu, dalam percakapan yang tak sengaja terjadi antara dua orang yang sama-sama lelah menjalani hidup rumah tangga, terucap sebuah kalimat yang tak mudah dilupakan: “Semuanya baik-baik saja... sampai hal-hal dari luar mulai masuk terlalu dalam.” Tak ada kemarahan dalam kalimat itu. Hanya suara datar yang penuh jeda. Tapi aku paham betul apa yang sedang dimaksud. Pernikahan mereka tak retak karena pertengkaran besar atau kesalahan fatal. Tapi karena ada sesuatu dari luar yang dibiarkan terlalu lama berada di dalam. Aku jadi teringat satu filosofi lama:  Air laut sebanyak apapun takkan menenggelamkan kapal, kecuali jika ia masuk ke dalamnya. Dalam konteks pernikahan, air laut adalah segala hal yang datang dari luar: tekanan keluarga besar, tuntutan sosial, campur tangan yang berlebihan, luka masa lalu, atau ekspektasi yang tidak pernah dibicarakan. Sementara kapal adalah rumah tangga itu sendiri. Ruang yang seharusnya aman, tertutup, dan saling menjaga. Masalah da...

S-Line: Ketika Nafsu Fomo Menggoda Kita untuk Membuka Aib

Gambar
Aku pernah membayangkan sebuah dunia di mana tiba-tiba, muncul garis merah di atas kepala setiap orang, membentang hingga punggung mereka, menghubungkan siapa saja yang pernah terlibat dalam hubungan intim. Ide ini pertama kali kutemui dari drama Korea terbaru,  S Line  (2025). Awalnya hanya fiksi, tapi sekarang viral di TikTok dan menimbulkan kehebohan. Jujur, aku ikut terpikir. Bukan karena aku percaya garis itu nyata, tapi karena betapa kuatnya ide fiksi ini sampai bisa mengguncang realitas sosial kita. Fenomena pro dan kontra yang muncul menampakkan satu hal: betapa media sosial telah menjadi ruang di mana realitas dibangun dan dibongkar setiap hari, membuat kita semakin terobsesi pada privasi, sesuatu yang kita sendiri bingung mendefinisikannya. Sekaligus takut pada penilaian publik. Aku teringat komentar seorang tokoh masyarakat yang kutemui di timeline-ku: "Tuhan sudah menutup aib, kenapa malah dibuka di sosmed dengan komedi? Ini bentuk kebodohan perilaku yang harus ...

Tangga Jiwa Ronggowarsito: Antara Laku dan Rahmat

Gambar
Ada dialog yang membuat kita merasa ditantang, namun justru karenanya kita bertumbuh. Salah satunya adalah percakapan panjang saya dengan Mas Hasyim, seorang sahabat yang mendalami patrap dan laku spiritual Jawa-Islami. Kami sepakat banyak hal, tapi tidak sedikit pula kami berbeda cara memandang. Bukan untuk saling mengoreksi, tetapi untuk saling menyingkap tabir kebenaran yang berlapis-lapis. Dalam sebuah diskusi yang hangat namun tajam, kami membahas tujuh lapisan manusia yang diadaptasi dari pemikiran Ranggawasita , semacam tangga kesadaran spiritual: 1. Jasad, 2. Nafsu, 3. Akal, 4. Hati, 5. Ruh, 6. Sirr, dan 7. Urip. Konsep ini bukan sekadar teori, tapi peta untuk mengenali gejolak dalam diri, tentang siapa kita sebenarnya dan ke mana arah pulang kita. Kami berdua percaya bahwa hidup ini adalah perjalanan mendaki kesadaran. Setiap lapisan diri ibarat anak tangga , dan seseorang tidak bisa naik ke tangga berikutnya jika belum mengurai dan menuntaskan konflik di tangga s...

Unfinished Croissant

Gambar
Di sepertiga malam itu, aku bermimpi menulis sebuah buku. Bukan buku biasa. Tapi kisah nyata yang tak masuk akal, tentang hati manusia yang berlapis-lapis seperti croissant . Dalam mimpi itu, aku duduk di depan laptop, menatap kata demi kata yang lahir dari kepedihan dan doa. Dalam mimpi itu aku berusaha menarasikan tentang seorang perempuan sederhana. Ia istri, ibu, anak, dan teman. Namun di dalam dirinya, ada luka lama yang tak pernah selesai. Sejak kecil, ia merasa cinta dan takut berbaur di satu ruang yang sama. Ia tumbuh menjadi perempuan penurut, menekan perasaan sendiri demi terlihat baik. Saat menikah, ia berharap menemukan surga. Tapi yang ia temukan justru dirinya semakin jauh dari dirinya sendiri. Hidupnya seperti adonan croissant ; dipukul, ditekan, dilipat berulang kali hingga membentuk lapisan-lapisan lembut yang rapuh. Ia menahan sakit hati, menelan penolakan, menambal harga diri yang sobek sedikit demi sedikit. Sampai suatu malam, ia merasa ingin menyerah. Ia mencari ke...

Mayang: Perempuan yang Terlalu Lama Diam

Gambar
Sebagian orang datang dalam hidup kita bukan untuk dimiliki, melainkan untuk menjadi cermin – tempat kita bercakap, berefleksi, dan menatap ulang siapa diri kita sebenarnya. Bagi diriku, Mayang adalah cermin itu. Perempuan yang kupanggil Ayang, yang kisahnya mengajarkan tentang diam yang terlalu lama. Sejak kecil, Ayang dikenal sebagai anak yang tidak pernah banyak menuntut, tidak pernah membantah. Ia tumbuh dengan kebiasaan menahan suara dan menyembunyikan perasaan, hingga sifat itu terbawa ketika ia menjadi istri. Ia tetap tidak pernah berkata “tidak”, tidak pernah menolak, bahkan ketika hatinya remuk berkeping-keping. “Kalau aku bilang capek, aku dianggap membangkang. Kalau aku bilang tidak, aku jadi penjahatnya.” Ucapannya pelan, seolah sudah letih menunggu telinga yang benar-benar mendengar. Ada suara yang terlalu lama tenggelam dalam keramaian. Ayang tidak pernah menyebut suaminya jahat. Tak ada cacian, tak ada upaya membongkar aib. Namun dari caranya bercerita, aku tahu rum...

Membunuh Tuhan: Ketika Luka Jadi Agama Baru

Gambar
Aku pernah mengenal seorang perempuan yang katanya pernah begitu mencintai Tuhan. Dahulu ia seorang Muslim, lalu berpindah keyakinan, dan pada akhirnya memilih untuk tidak percaya lagi. Bukan karena filsafat. Bukan karena ilmu. Tapi karena luka: “Kalau Tuhan itu ada, kenapa aku dibuang oleh orang tuaku? Kenapa aku diperkosa? Kenapa anak sulungku mati? Kenapa aku dikhianati orang yang kupercaya? Kenapa aku ditinggalkan sendiri oleh mereka yang kucintai? Kenapa hidupku hancur begitu saja?” Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lahir dari hati yang congkak. Justru sebaliknya, lahir dari jiwa yang remuk; penuh amarah yang tak pernah sempat tertumpahkan, dan kecewa yang terlalu lama dipendam. Dia bukan orang jahat. Dia cerdas, memesona, bahkan menyebut dirinya seorang coach penyintas trauma. Tapi di balik semua gelar, semua konten, dan parade cerita masa lalunya, aku melihat kekosongan yang begitu sunyi. Seolah semua pencapaian itu adalah caranya berteriak, tanpa suara: “Aku masih ada. Aku mas...

Masa Lalu dan Traumamu Bukan Dirimu. Kamu Berharga!

Gambar
Aku pernah membaca sebuah kalimat di dinding media sosial. Tulisannya biasa saja, tapi maknanya menamparku tanpa basa-basi: "Kamu bukan masa lalumu. Kamu bukan traumamu. Kamu berharga." Aku terdiam. Ada bagian dari diriku yang langsung membantah, “Apa iya? Bukankah aku adalah semua kesalahan itu? Bukankah aku adalah semua penyesalan yang masih terasa pedih hari ini?” Tapi di saat yang sama, aku juga sadar… aku lelah. Lelah terus mendefinisikan diriku hanya dari apa yang sudah berlalu. Aku teringat Umar bin Khattab. Bukan tentang pedangnya, tapi tentang wataknya yang keras, egonya yang tinggi, dan bagaimana dia menata ulang semuanya ketika menemukan kebenaran. Dia tak menghapus masa lalunya, tapi dia menulis ulang maknanya. Sama seperti kita yang mungkin keras kepala dalam pilihan hidup, pernah menyesal atas keputusan yang ternyata salah, atau pernah terlalu keras menilai orang lain. Tapi lihat bagaimana Umar mengarahkan kekuatan karakternya menjadi pemimpin yang adil, tegas, ...

Kekuatan yang Melelahkan: Sebuah Refleksi tentang Sosok Mba Nisa

Gambar
Aku mengenal sosok Nisa pertama kali lewat sebuah tulisan berjudul “Pulang” yang dikirim seorang sahabat dari Sidoarjo. Cerita itu menggetarkan ruang batin yang paling sunyi (mungkin karena aku melihat potongan diriku dalam dirinya). Nisa adalah perempuan yang dua kali lebaran tak pulang kampung. Bukan karena tak rindu, tapi karena gengsi. Ia malu memperlihatkan kondisi hidupnya yang serba kekurangan. Sering kali kita keliru memahami arti kuat. Kita pikir kuat itu berarti mampu bertahan sendiri, menelan pil pahit tanpa suara, dan tetap tersenyum saat hati remuk. Seperti Nisa, kita belajar diam karena pernah kecewa. Kita menolak bantuan karena takut dianggap lemah. Kita terus berjalan, bahkan ketika kaki sudah gemetar. Padahal, sejatinya kekuatan bukan terletak pada seberapa banyak beban yang bisa kita pikul sendirian, melainkan pada keberanian untuk berkata, “Aku butuh pertolongan.” Dalam diamnya, Nisa bicara banyak hal. Ia memilih berjualan nasi kotak kecil-kecilan ketimba...

Saat Terjebak dalam Hubungan yang Melemahkan

Gambar
  Dalam hidup ini, ada jiwa-jiwa lembut yang berusaha mempertahankan hubungan meskipun hatinya lelah dan dirinya terus diremehkan. Dia menahan perih demi cinta, menunda luka demi menjaga ikatan. Namun, Islam mengajarkan bahwa hidup harus diisi dengan nilai kebenaran, bukan semata bertahan dalam kezaliman. QS Al-An’am 132-135 memberi bimbingan mendalam tentang bagaimana menghadapi keadaan seperti ini dengan bijak dan berani. Allah berfirman: Dan bagi masing-masing derajat-derajat (balasan) menurut apa yang telah mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Al-An’am 132) Setiap amal baik, sekecil apa pun, tidak pernah sia-sia. Meski kebaikanmu diremehkan, atau kelembutanmu tidak diakui oleh mereka yang dekat denganmu, Allah Maha Melihat. Segala doa, kesabaran, dan perjuanganmu menahan diri dari kata-kata buruk akan menjadi derajat di sisi-Nya. Kau tidak hidup untuk menumpuk pujian manusia, tetapi untuk memperoleh cinta dan ridha-Nya. Allah melanju...