Kekuatan yang Melelahkan: Sebuah Refleksi tentang Sosok Mba Nisa

Aku mengenal sosok Nisa pertama kali lewat sebuah tulisan berjudul “Pulang” yang dikirim seorang sahabat dari Sidoarjo. Cerita itu menggetarkan ruang batin yang paling sunyi (mungkin karena aku melihat potongan diriku dalam dirinya). Nisa adalah perempuan yang dua kali lebaran tak pulang kampung. Bukan karena tak rindu, tapi karena gengsi. Ia malu memperlihatkan kondisi hidupnya yang serba kekurangan.

Sering kali kita keliru memahami arti kuat. Kita pikir kuat itu berarti mampu bertahan sendiri, menelan pil pahit tanpa suara, dan tetap tersenyum saat hati remuk. Seperti Nisa, kita belajar diam karena pernah kecewa. Kita menolak bantuan karena takut dianggap lemah. Kita terus berjalan, bahkan ketika kaki sudah gemetar. Padahal, sejatinya kekuatan bukan terletak pada seberapa banyak beban yang bisa kita pikul sendirian, melainkan pada keberanian untuk berkata, “Aku butuh pertolongan.”

Dalam diamnya, Nisa bicara banyak hal. Ia memilih berjualan nasi kotak kecil-kecilan ketimbang meminta bantuan keluarga. Ia lebih rela memakai baju lusuh asal anak-anaknya bisa berseragam baru. Ia mencintai keluarganya dalam diam yang penuh pengorbanan. Tapi di satu titik, aku bertanya-tanya: apakah pengorbanan tanpa batas benar-benar mulia? Ataukah itu cara kita menyiksa diri perlahan, demi sebuah harga diri yang tak pernah diminta siapa pun?

Spiritualitas Nisa menyadarkanku akan satu hal: banyak dari kita salah kaprah memahami tawakal. Kita mengira pasrah berarti tidak meminta, tidak mengeluh, tidak berharap. Padahal Rasulullah pernah berkata, “Ikatlah unta terlebih dahulu, baru bertawakal kepada Allah.” Artinya, ikhtiar tidak hanya berarti bekerja keras, tapi juga membuka diri untuk menerima bantuan. Bahkan tangan yang mengulurkan sedekah adalah bagian dari takdir, bukan pelecehan terhadap harga diri.

Andai aku bisa bicara langsung pada Nisa, aku ingin bilang: "Kau tak perlu membuktikan apapun. Tidak perlu mengorbankan kebahagiaanmu demi mendapatkan pengakuan. Rindumu pada ibu sah untuk ditunjukkan. Kelemahanmu bukan dosa, tapi bagian dari kemanusiaan."

Karena keluarga yang mencintaimu tak butuh kamu jadi pahlawan. Mereka hanya ingin kamu hadir, apa adanya.

Cerita Nisa bukan hanya tentang ekonomi. Ini adalah potret nyata dari luka-luka batin banyak orang yang diam-diam lelah, tapi terus memaksakan diri untuk terlihat kuat. Hari ini, mari kita belajar dari Nisa, dengan versi yang lebih lembut: tetap gigih, tapi tak malu meminta bantuan. Tetap mandiri, tapi tak gengsi mengakui kelelahan. Tetap berprinsip, tapi tak keras hati menolak kebaikan.

Seperti Nisa yang akhirnya pulang, bukan hanya ke kampung halaman, tapi ke sisi dirinya yang paling manusiawi. Semoga kita pun berani melakukan perjalanan pulang serupa. Karena sesungguhnya, mengakui kelemahan bukan tanda kegagalan, tapi bentuk keberanian yang paling dalam.
Terkadang, keberanian terbesar justru hadir saat kita jujur mengakui kelemahan kita.
Untuk semua Nisa yang diam-diam lelah, kami mendengarmu. Dan kamu tak sendiri.

Inspirasi dari tulisan "Pulang" Karya Fatimah al Haddar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk