Bubarkan DPR: Trauma Kepercayaan Rakyat dan Gagalnya Komunikasi Politik
Demo 25 Agustus ramai disebut sebagai hari protes menuntut pembubaran DPR. Apakah demo itu benar-benar terorganisir atau sekadar seruan viral, bagi saya bukan itu inti masalahnya. Yang lebih penting adalah memahami mengapa rakyat sampai punya dorongan sefrontal itu. Disclaimer: tulisan ini lahir sebagai bentuk tanggung jawab sebagai warga negara, yang ketika menyaksikan ketidakadilan, diam bukan pilihan. Apa yang saya sampaikan bukan sekadar kritik, melainkan refleksi dari kegelisahan bersama, agar negeri ini kembali berjalan di atas keadilan, amanah, dan keberpihakan pada yang lemah. Di balik teriakan “bubarkan DPR”, saya membaca ada luka yang lebih dalam: trauma trust (trauma kepercayaan). Rakyat merasa wakil yang dipilih dengan susah payah justru menjauh dari kenyataan hidup mereka. Saat rakyat kelaparan, pajak dinaikkan, subsidi dipangkas, para wakil malah berjoget di ruang terhormat dengan gaya DJ. Simbol ini menyakitkan, bukan karena gerakan jogetnya, tapi karena ia mewakili gh...