Membunuh Tuhan: Ketika Luka Jadi Agama Baru


Aku pernah mengenal seorang perempuan yang katanya pernah begitu mencintai Tuhan. Dahulu ia seorang Muslim, lalu berpindah keyakinan, dan pada akhirnya memilih untuk tidak percaya lagi. Bukan karena filsafat. Bukan karena ilmu. Tapi karena luka:

“Kalau Tuhan itu ada, kenapa aku dibuang oleh orang tuaku? Kenapa aku diperkosa? Kenapa anak sulungku mati? Kenapa aku dikhianati orang yang kupercaya? Kenapa aku ditinggalkan sendiri oleh mereka yang kucintai? Kenapa hidupku hancur begitu saja?”

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lahir dari hati yang congkak. Justru sebaliknya, lahir dari jiwa yang remuk; penuh amarah yang tak pernah sempat tertumpahkan, dan kecewa yang terlalu lama dipendam.

Dia bukan orang jahat. Dia cerdas, memesona, bahkan menyebut dirinya seorang coach penyintas trauma. Tapi di balik semua gelar, semua konten, dan parade cerita masa lalunya, aku melihat kekosongan yang begitu sunyi.
Seolah semua pencapaian itu adalah caranya berteriak, tanpa suara:

“Aku masih ada. Aku masih berharga, meski Tuhan sudah tak kupercaya.”

Aku tidak pernah menghakiminya. Namun aku sempat bertanya dalam hati,

“Apakah benar manusia bisa kehilangan arah sedalam itu, hingga satu-satunya cara bertahan adalah dengan membunuh Tuhan di dalam dirinya?”

Lalu aku sadar, trauma memang sering membuat manusia membunuh Tuhan.
Bukan karena Tuhan pantas dibunuh. Tapi karena manusia sudah tak sanggup lagi percaya.

Aku pernah ingin dekat dengannya. Bukan untuk mencintai, tapi untuk sama-sama sembuh. Namun ada terlalu banyak topeng, terlalu banyak permainan tarik-ulur, terlalu banyak luka yang belum selesai namun dijadikan alat untuk mengendalikan.

Akhirnya, aku memilih mundur.
Bukan karena benci.
Tapi karena aku tak ingin ikut tenggelam dalam kubangan kehilangan yang bahkan belum dia sadari.

Kini aku mengerti. Tuhan tidak pernah benar-benar mati. Yang mati adalah kepercayaan. Yang pudar adalah harapan. Yang hilang adalah keberanian untuk melihat hidup sebagai anugerah, bukan hukuman.

Dan mungkin, satu-satunya cara menyembuhkan luka terdalam…
bukanlah dengan membunuh Tuhan,
tapi dengan perlahan membuka pintu kembali kepada-Nya, meski takut, meski ragu.

Untuk siapa pun yang hari ini sedng menyalahkan Tuhan karena luka hidupmu:

Aku tidak menghakimimu. 

Aku mengerti.

Tapi ketahuilah, Dia masih di sana.

Menunggumu dengan sabar, bahkan saat kau membenci-Nya sekalipun.

Komentar

  1. Aku kemarin di posisi ini, cuma justru aku menemukan tuhan bukan kehilangan tuhan. Itu kenapa aku lari nya ke bali. Dalam waktu 2 bulan aku stay bali semua nya terbuka dan aku smakin yakin tuhan tdk pernah meninggalkan kita walo sedetikpun☺️😇

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk