Masa Lalu dan Traumamu Bukan Dirimu. Kamu Berharga!


Aku pernah membaca sebuah kalimat di dinding media sosial. Tulisannya biasa saja, tapi maknanya menamparku tanpa basa-basi:

"Kamu bukan masa lalumu. Kamu bukan traumamu. Kamu berharga."

Aku terdiam. Ada bagian dari diriku yang langsung membantah, “Apa iya? Bukankah aku adalah semua kesalahan itu? Bukankah aku adalah semua penyesalan yang masih terasa pedih hari ini?”

Tapi di saat yang sama, aku juga sadar… aku lelah. Lelah terus mendefinisikan diriku hanya dari apa yang sudah berlalu.

Aku teringat Umar bin Khattab. Bukan tentang pedangnya, tapi tentang wataknya yang keras, egonya yang tinggi, dan bagaimana dia menata ulang semuanya ketika menemukan kebenaran. Dia tak menghapus masa lalunya, tapi dia menulis ulang maknanya. Sama seperti kita yang mungkin keras kepala dalam pilihan hidup, pernah menyesal atas keputusan yang ternyata salah, atau pernah terlalu keras menilai orang lain. Tapi lihat bagaimana Umar mengarahkan kekuatan karakternya menjadi pemimpin yang adil, tegas, dan sangat peduli pada rakyatnya. Bukan tentang menjadi sosok besar. Tapi tentang keberanian mengubah arah.

Aku ingat seorang teman yang pernah berkata padaku, “Aku nggak bisa percaya orang lagi. Semua orang cuma mikirin diri sendiri. Akhirnya aku juga jadi nggak peduli sama siapa-siapa.”

Aku paham rasanya. Setelah sering dikecewakan, wajar kalau hati memilih menutup pintu rapat-rapat. Tapi aku juga belajar, hidup dengan hati yang mati rasa bukan solusi. Kita tetap butuh kehangatan, kepercayaan, dan persahabatan, meskipun pelan-pelan, meskipun sedikit demi sedikit.

Aku teringat Bilal bin Rabah. Dulu dia budak. Tak ada yang menganggap suaranya penting. Tapi kemudian suaranya menjadi panggilan paling mulia, azan pertama yang menggema di Madinah. Bukan karena dia berubah warna kulit atau status sosialnya. Tapi karena hatinya bersih memanggil Tuhan. Hidup kita kadang juga seperti itu. Di mata manusia, mungkin biasa saja. Tapi di mata Allah, ada nilai yang tak pernah sia-sia.

Aku jadi ingat konsep neuroplastisitas dalam psikologi: otak kita bisa berubah. Pola pikir, kebiasaan, dan cara memaknai hidup, semuanya bisa dilatih ulang. Dalam Islam, kita diajarkan tentang taubat dan pembaruan diri. Bukan sekadar menyesal, tapi benar-benar menata ulang hidup kita. Allah berfirman, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6).

Malam ini, aku menulis ini untuk diriku sendiri, dan mungkin untukmu juga yang sedang berusaha berdamai dengan masa lalu, atau masih menahan diri dengan rasa malu dan bersalah.

Kamu bukan apa yang pernah terjadi padamu. Kamu bukan apa yang orang lain katakan tentangmu. Kamu adalah jiwa yang Allah ciptakan dengan tujuan.

Dan seperti Umar yang mengubah arah hidupnya, seperti Bilal yang suaranya menjadi panggilan mulia, kita pun selalu bisa menulis ulang cerita kita. Mulai sekarang.

"Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)." (QS. At-Talaq: 3)

Komentar

  1. Mungkin hampir smua kisah nya mirip sama kisahku ka, tapi terlepas dari apapun bentuknya smua tidak ada yg kebetulan. Justru bisa jadi ini tentang karma masalaluku ketika disakiti orang. Malah aku berterimakasih sama mereka aku telah membayar hutangku ☺️šŸ™

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk