Model Anti-Toksik: Sayangi Energi Dalam Dirimu


Pernah nggak sih kamu merasa kayak kehabisan bensin cuma karena ngobrol sama seseorang? Atau habis ngumpul malah hatimu penuh sesak, bukannya senang? Dulu aku pikir itu cuma karena aku introvert. Tapi ternyata... ada yang lebih dalam: aku tidak sadar sedang hidup di tengah ekosistem yang toksik.

Aku mau cerita sedikit—bukan untuk menggurui, tapi barangkali kamu juga pernah merasa hal yang sama.

Energi Diri: Titik Awal Segalanya

Ada satu momen yang aku ingat banget. Saat itu aku sedang jadi orang “yes” sejati. Semua orang aku bantuin, semua kerjaan aku iain, semua keluhan aku dengarkan. Sampai akhirnya... aku drop. Badan tumbang, hati jenuh, kepala penuh.

Itulah titik aku sadar: energi diriku habis.

Energi diri ini kayak baterai internal kita. Kalau dia low, semua jadi berat. Kita lebih gampang meledak, gampang baper, dan gampang ngerasa nggak berharga.

Contoh nyatanya:

  • Bangun tidur masih capek padahal tidur cukup.

  • Ngerasa terganggu sama hal-hal sepele.

  • Sering mikir, “Kok aku nggak dihargai ya?”

Waktu itu, aku mulai belajar mengisi ulang energi bukan cuma lewat tidur atau kopi, tapi dengan kenal siapa aku, apa batasanku, dan siapa saja yang layak aku beri waktu.

Pengendalian Diri: Rem yang Menyelamatkan

Kita semua punya tombol "balas dendam" dalam diri. Tapi saat aku mulai belajar self-regulation, aku belajar satu hal penting: tidak semua harus dibalas.

Contohnya:
Temanku tiba-tiba nyindir aku di grup WhatsApp. Dulu pasti langsung baper. Tapi sekarang? Aku tarik napas, diam sebentar, lalu balas dengan santai: “Makasih masukannya ya 😌”. Itu lebih menyakitkan bagi mereka, haha. Tapi yang terpenting: aku nggak kehilangan damai dalam diri.

Intuisi: Bahasa Sunyi dari Dalam

Intuisi itu semacam GPS emosional. Sering kali kita mengabaikannya demi sopan santun atau rasa nggak enak. Tapi jujur ya... perasaan "nggak enak" itu jarang bohong.

Contohnya:
Aku pernah ketemu orang baru yang sangat charming. Tapi ada “something off”. Ternyata, seminggu kemudian dia minta tolong uang dalam jumlah besar dengan dalih spiritualitas. Kalau bukan karena aku dengerin intuisi, mungkin sekarang aku sedang nyicil hutang.

Ikhlas: Seni Melepas yang Tidak Sehat

Ikhlas itu bukan pasrah. Bukan lemah. Tapi kekuatan besar yang membebaskan. Dulu aku susah banget melepaskan teman yang berubah jadi racun. Tapi saat aku lepaskan, bukan cuma dia yang pergi—bebanku juga ikut hilang.

Contohnya:
Ketika kita bilang, "Dia tuh udah kayak saudara sendiri..." tapi dia terus-menerus menyakiti kita. Melepas dia bukan berarti kita jahat. Itu artinya kita memilih untuk tidak lagi disakiti.

Self-Care: Bukan Manja, Tapi Bertahan Hidup

Self-care bukan cuma skincare dan kopi mahal. Tapi bentuk perlawanan terhadap toksisitas yang menyerang batin. Di masa sibuk dan penuh tekanan, aku menyelamatkan diriku dengan self-care kecil tapi konsisten. Contohnya:

  • Silent mode dari jam 9 malam.

  • Journaling tiap pagi, walau cuma 5 menit.

  • Menolak undangan yang nggak aku inginkan, tanpa rasa bersalah.

Berani Berkata "Tidak": Kebebasan Sejati

Momen paling empowering dalam hidupku adalah saat aku bilang “TIDAK” dengan tegas, tanpa merasa perlu menjelaskan panjang lebar.

Contohnya gini:
Bos ngajak lembur dadakan di hari liburku. Dulu aku langsung iain. Sekarang? “Maaf, saya sudah ada agenda pribadi.” Dan kamu tahu apa yang terjadi? Dunia tidak kiamat. Mereka tetap menghargai aku—lebih lagi malah.

Batasan: Pagar Tak Terlihat yang Menyelamatkan Jiwa

Dulu aku takut dibilang sombong kalau bikin batasan. Tapi ternyata... batasan itu tanda sayang ke diri sendiri. Kalau kita nggak tentuin batasan, orang lain akan seenaknya masuk—dan bisa-bisa merusak taman di dalam hati kita.

Contoh ya:

  • “Aku hanya bisa dibalas pesan sampai jam 7 malam ya.”

  • “Aku tidak nyaman membahas hal itu.”

  • “Kalau kamu terus bicara seperti itu, aku akan keluar dari percakapan ini.”

Penutup: Hidup yang Damai Itu Mungkin

Model Anti-Toksik ini bukan sekadar teori. Ini alat bertahan hidup yang elegan dan lembut menurutku😁. Bukan buat jadi orang dingin, tapi jadi pribadi yang hangat tapi punya batas.

Aku masih belajar, dan kadang masih kecolongan juga. Tapi sekarang aku punya peta. Dan setiap langkah kecil menjauh dari toksisitas adalah langkah besar menuju damai yang layak aku perjuangkan.

Kalau kamu sedang lelah, mungkin bukan kamu yang terlalu sensitif, mungkin kamu sedang terlalu lama berada di tempat yang salah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk