Siklus Shame-Pride: Ketika Kebanggaan Menjadi Jerat


Setiap orang tua pasti ingin anaknya menjadi kebanggaan. Namun, tanpa disadari, keinginan tulus ini bisa berubah menjadi bumerang ketika anak dijadikan "penyambung ego" untuk memuaskan kebutuhan psikologis orang tua. Kisah-kisah seperti ini sering kita temui—seorang anak perempuan yang dibesarkan sebagai "anak emas" oleh ibu dengan kepribadian narsisistik (NPD), misalnya. Di satu sisi, ia dipuja saat berprestasi; di sisi lain, dihujani kekecewaan saat gagal memenuhi harapan. Tanpa disadari, anak ini terjebak dalam siklus destruktif: shame (rasa malu) → pride (rasa bangga) → shame, sebuah lingkaran setan yang dijelaskan dengan gamblang oleh David Hawkins dalam peta kesadarannya.


Akar Masalah: Shame yang Tak Teratasi


Menurut Hawkins, shame (level 20) adalah energi kesadaran terendah—rasa tidak berharga yang membuat seseorang ingin menghilang. Pada anak yang dibesarkan dengan pola asuh narsisistik, shame ini muncul ketika ia gagal memenuhi ekspektasi orang tua. "Aku tidak pantas dicintai jika tidak sempurna," begitu bisik hatinya. Dari sini, anak berusaha membangun pride (level 175) sebagai tameng: ia menjadi perfeksionis, anti-kritik, dan terus-menerus membuktikan bahwa dirinya "istimewa". Inilah yang dalam psikologi disebut narsisisme kompensasi—kebanggaan palsu untuk menutupi luka ketidakcukupan.


Pride yang Rapuh dan Jerat Ujub


Pride, meski terlihat kuat, sebenarnya rapuh. Seperti rumah kartu, ia bisa runtuh setiap saat. Hawkins menjelaskan bahwa pride bergantung pada validasi eksternal—pujian, penghargaan, atau pengakuan. Ketika sumber ini hilang (misalnya saat gagal atau dikritik), pride pun ambruk, dan anak kembali terjerembap ke lubang shame. Dalam Islam, kondisi ini mirip dengan ujub, penyakit hati di mana seseorang merasa dirinya hebat tanpa menyadari bahwa semua kelebihan adalah anugerah Allah. Nabi ï·º mengingatkan, "Tiga hal yang membinasakan: kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujub." (HR. Al-Baihaqi).


Anak Bukanlah "Penyambung Ego"


Lalu, bagaimana orang tua bisa menghindari jebakan ini? Pertama, dengan menyadari bahwa anak adalah individu mandiri, bukan perpanjangan ego orang tua. Kedua, dengan mengajarkan bahwa kegagalan bukanlah aib, melainkan bagian dari proses belajar. Ketiga, mengganti kebanggaan kosong (pride/ujub) dengan syukur dan tawadhu’. Sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh, karena sesungguhnya kamu tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menyamai tinggi gunung-gunung." (QS. Al-Isra: 37).


Memutus Siklus, Menumbuhkan Courage


Solusi terbaik, menurut Hawkins, adalah naik ke level courage (200)—keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan dan tumbuh darinya. Bagi anak, ini berarti diajari bahwa ia berharga bukan karena prestasinya, tapi karena usahanya. Bagi orang tua, ini berarti belajar melepas kontrol dan membiarkan anak menjadi dirinya sendiri.


Refleksi


Setiap anak terlahir suci. Tugas orang tua bukanlah menjadikannya "kebanggaan" semata, melainkan membimbingnya menemukan cahayanya sendiri—cahaya yang bersumber dari kesadaran akan kasih sayang Allah, bukan dari pujian sesaat. Sebab, seperti kata pepatah, "Anak-anak bukanlah vas yang kita isi, tetapi api yang kita nyalakan." Dan api terkuat adalah yang menyala atas dasar cinta tanpa syarat.

Mari jadikan rumah kita tempat di mana anak-anak belajar mencintai diri mereka sendiri—bukan karena kesempurnaan, tapi karena mereka adalah karya Allah yang unik.

Pustaka:

  1. Hawkins, D. R. (2002). Power vs. Force: The Hidden Determinants of Human Behavior. Hay House.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk