Takbiran: Saat Aku Memilih Mengagungkan Allah SWT
“Allahu Akbar.” Kalimat itu pendek, tapi berat. Ia seperti palu yang menghantam kesadaran, mengingatkan bahwa ada yang jauh lebih besar dari kegelisahan, ambisi, atau ketakutan yang diam-diam kupelihara. Ia tidak selalu hadir di momen khusyuk. Kadang justru muncul di tengah gejolak hidup yang kusut—seperti ketika harus melepaskan seseorang yang dulu begitu kuperjuangkan.
Ada masa dalam hidupku ketika aku terus bertahan dalam sebuah hubungan yang dari luar tampak baik-baik saja. Aku pikir itu cinta, aku pikir itu ibadah. Tapi pelan-pelan aku mulai kehilangan arah. Setiap keputusan harus melewati labirin superioritas orang lain. Ketulusan sering dianggap kelemahan. Menjaga kesucian dan kehormatan dianggap naif. Aku sempat berpikir, mungkin ini bagian dari ujian, bahwa mencintai memang butuh iman.
Hingga suatu malam, setelah banyak hal yang tak bisa lagi dijelaskan dengan logika atau dinormalkan dengan dalih "saling memahami," aku duduk sendiri. Tak ada suara manusia malam itu. Hanya detak jantung, dan takbir dari masjid kecil yang entah mengapa terasa menusuk ke dada.
“Allahu Akbar.” Tiba-tiba kalimat itu seolah bertanya balik ke arahku: "Benarkah Dia yang paling besar dalam hidupmu? Atau kamu sudah terlalu takut kehilangan sesuatu yang bukan Dia?" Aku tak bisa menjawab. Tapi sejak saat itu, hatiku mulai berani jujur. Bahwa mencintai tak harus membelenggu. Bahwa mengagungkan Allah juga berarti menjaga diri dari tunduk pada ego orang lain, meski dibungkus cinta.
Takbir memang sering kita dengar di masjid atau lapangan saat Idul Fitri, tapi maknanya tidak seharusnya tinggal di sana. Ia seharusnya hadir dalam keputusan-keputusan kecil dan besar yang kita buat saat tak ada yang menonton. Termasuk saat kita memutuskan untuk berdiri, bukan demi melawan, tapi demi menjaga agar nilai hidup tidak hancur pelan-pelan.
Ada ironi yang sering kita alami: semangat bertakbir begitu tinggi saat hari raya, tapi begitu kembali ke rutinitas, seolah Yang Maha Besar itu kalah oleh bayangan kehilangan. Aku pun pernah seperti itu. Menunda keputusan demi menjaga ‘kedamaian semu.’ Padahal dalam diam, jiwa sedang sekarat. Dan saat akhirnya aku memilih untuk pergi, itu bukan karena aku kuat. Tapi karena aku percaya, Allah lebih besar dari rasa takutku. Dan jika aku menunduk pada-Nya, maka tak ada satu pun kehilangan yang benar-benar menghancurkan.
Takbir mengajarkan bahwa hidup bukan tentang menjadi besar di mata manusia, tapi menjadi kecil di hadapan Allah, dan dari kerendahan itu kita menemukan kembali kekuatan sejati. Bukan untuk merasa suci, bukan untuk membenarkan diri. Tapi untuk belajar kembali merunduk, lalu melangkah dengan lebih jujur.
Ketika takbir kembali bergema nanti, aku tidak ingin hanya mengulang suara. Aku ingin mengulang kesadaran. Bahwa setiap langkah harus mengagungkan-Nya, bukan hanya dengan bibir, tapi dengan hidup yang berani tunduk.
Dan jika esok aku tergelincir lagi, semoga suara takbir itu tetap bisa memanggilku pulang—mengingatkanku, bahwa Allah-lah prioritas tertinggi dalam hidup, baik melalui ucapan, keyakinan, maupun amal, dan semua yang lain hanya bayangan sementara yang akan sirna.
للَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan selain Allah. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan segala puji bagi Allah."
1 Syawal 1446 H
Komentar
Posting Komentar