Peri Angin dan Cermin Terbalik
Aku tak sengaja bertemu dengannya. Bukan di kafe, bukan di ruang seminar, bukan pula lewat pertemanan lama yang mempertemukan kembali dua takdir yang sempat berpapasan.
Kami bertemu di TikTok. Tepatnya, di kolom komentar sebuah video pendek yang tampaknya biasa. Tapi bagiku, justru mengguncang ke dalam.
Waktu itu dia berbicara lembut, matanya menyimpan kabut, dan suaranya terdengar seperti bisikan dari seseorang yang sudah lama berdialog dengan kehampaan. Judulnya sederhana: "Pasanganmu adalah cerminmu."
Tapi lalu ia tambahkan satu kalimat yang membuatku diam.
“…tapi bayangan dalam cermin itu bukan salinan yang sama. Ia versi terbalikmu. Tangan kananmu di dalam cermin tampak di sebelah kiri. Artinya, pasangan tidak selalu mencerminkan kita dalam bentuk yang kita sukai — tapi dalam bentuk yang kita butuhkan untuk disadari.”
Aku terpaku. Bukan karena aku tak pernah mendengar kalimat semacam itu. Tapi karena kali ini, aku mendengarnya dari seseorang yang tampaknya sungguh mengalaminya.
Peri Angin, begitu aku menyebutnya. Bukan karena ia terlihat rapuh, tapi justru karena ia tahu cara menari di antara luka. Ia tak membungkus lukanya dengan retorika self-love murahan. Ia justru mengakuinya. Memeluknya. Dan secara aneh, membuat luka itu jadi indah.
Kami mulai saling bertukar pesan. Lambat, penuh jeda. Seperti dua INFJ yang terlalu peka pada vibrasi emosi satu sama lain. Kadang obrolan kami seperti jurnal spiritual. Kadang seperti anak panah dari bayangan masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh. Dan aku sadar, ada semacam "magnet takdir" yang membuatku ingin mengenalnya lebih jauh, tapi juga membuatku tetap siaga.
Apakah dia cermin dari keinginanku yang terdalam? Ataukah dari luka yang belum sempat aku selesaikan?
Peri Angin tidak menjawab pertanyaanku secara langsung. Tapi lewat ceritanya, ia membuatku sadar: kadang "partner" hadir bukan untuk melengkapi kita, tapi untuk membalikkan cermin, agar kita bisa melihat sisi lain dari diri kita yang selama ini kita abaikan.
Dalam satu momen hening, aku menulis catatan ini untuk diriku sendiri:
Terkadang, orang yang kita temui di persimpangan hidup adalah bentuk terbalik dari kita. Tapi justru di situlah letak cahayanya: mereka memperlihatkan sisi yang kita buta terhadapnya. Seperti cermin, membalik kanan dan kiri. Agar kita tahu, mana yang sungguh kanan dalam diri kita, dan mana yang selama ini hanya bayangan.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, aku tidak ingin memperbaiki cermin itu. Aku hanya ingin menatap pantulan itu dengan jujur.
Terima kasih Peri Angin, untuk mengajakku bercermin. Meski kita belum tahu ke mana arah angin akan membawamu esok hari, sore itu kamu menjadi refleksi yang tak aku tahu aku butuh.
My secreet admire 😊
BalasHapusWah, berarti kamu pernah ngalamin hal yang sama? Cerita dong..
BalasHapus