Istiqomah itu Dinamis, Bukan Kaku
Orang shodiq berubah 40 kali dalam sehari. Orang munafik tidak akan berubah bahkan dalam 40 tahun.
Orang shodiq, yakni orang yang jujur kepada Allah dan dirinya sendiri, tak pernah berhenti bermuhasabah. Ia terus mengevaluasi niat, memperbaiki sikap, mengubah pandangan bila dirasa menjauh dari kebenaran. Ia tak takut terlihat “tidak konsisten” di mata manusia, karena yang ia cari adalah konsistensi di hadapan Allah—yakni istiqamah dalam kejujuran dan perbaikan.
Ia juga sadar bahwa pahala tidak selalu terdapat di satu jalan tetap. Karena itu, orang shodiq terus bergerak dan berputar, menjelajahi amal-amal yang lebih utama, niat yang lebih bersih, dan jalan yang lebih lurus. Ia bertanya dalam diamnya: "Adakah jalan yang lebih dicintai Allah? Adakah amal yang lebih berat timbangannya di akhirat?"
Sebaliknya, orang riya' dan munafik merasa cukup dengan pencitraan. Ia membangun identitas untuk dilihat manusia, bukan untuk mencari kebenaran. Maka ketika melihat orang shodiq berubah sikap, pendapat, atau pilihan, ia menyimpulkan: “Orang ini tak punya pendirian.”
Disinilah perbedaannya
Orang shodiq konsisten dalam mencari kebenaran, meskipun harus berubah arah. Orang munafik konsisten dalam mempertahankan kepalsuan, karena takut kehilangan wajah di hadapan manusia.
Orang shodiq itu ibarat penari yang menari mengelilingi poros kebenaran—ia berputar, tapi tak tersesat. Ia bisa berubah arah, tapi selalu dalam orbit Allah. Sedangkan orang munafik ibarat patung—diam, tampak stabil, tapi tak pernah hidup.
Kita hidup di zaman di mana konsistensi sering diukur dari citra, bukan dari kejujuran hati. Padahal dalam Islam, istiqamah bukan berarti kaku, melainkan teguh dalam orientasi, meskipun cara dan bentuknya bisa berubah sesuai keadaan.
Berubahlah seperti orang shodiq: bukan demi dunia, tapi demi kejujuran pada nurani.
Karena Allah tidak menilai seberapa teguh kamu mempertahankan citra, tapi seberapa tulus kamu mencari kebenaran dan pahala tertinggi di sisi-Nya.
Komentar
Posting Komentar