The Ego and The Superego: Titik Temu Psikoanalisis dan Psikospiritual
Pembentukan superego tidak terjadi tiba-tiba, melainkan melalui mekanisme identifikasi. Pada awal kehidupan (fase oral), anak belum bisa membedakan antara dirinya dan objek luar. Cinta (libido) kepada objek luar seperti ibu bisa menyatu dengan proses identifikasi, yaitu menjadikan objek itu bagian dari dirinya. Ketika objek itu hilang atau harus dilepaskan, ego tidak serta-merta melepaskannya, melainkan menginternalisasi, menjadikannya bagian dari dirinya sendiri, terutama bila pelepasan itu sulit. Maka terbentuklah identifikasi ego terhadap objek, terutama objek seksual yang ditinggalkan. Ini menjadi dasar dari karakter, yakni endapan dari pilihan-pilihan objek cinta yang telah ditinggalkan.
Secara khusus, superego terbentuk dari identifikasi dengan ayah, yang terjadi bahkan sebelum ada cinta objek eksplisit terhadap ayah (pre-Oedipal). Namun, dalam perkembangan kompleks Oedipus, anak laki-laki mencintai ibunya (cinta objek pertama secara erotik), dan melihat ayah sebagai rival. Konflik ini kemudian menghasilkan ambivalensi terhadap ayah: cinta dan benci. Untuk mengatasi konflik ini, ego anak mengidentifikasi dengan ayah sebagai jalan kompromi, menerima ayah sebagai bagian dari dirinya alih-alih terus memusuhinya. Identifikasi ini akhirnya menekan hasrat Oedipus dan menjadi superego, struktur moral yang menginternalisasi larangan dan tuntutan ayah.
Dalam teks ini, Freud membedakan dua bentuk Oedipus kompleks:
1. Oedipus Kompleks Positif
Merupakan bentuk “klasik” yang paling dikenal:
-
Anak laki-laki mencintai ibunya dan memusuhi ayahnya karena dianggap saingan.
-
Anak perempuan mencintai ayahnya dan merasa cemburu terhadap ibunya.
Kompleks ini menghasilkan identifikasi dengan orang tua sejenis sebagai bentuk penyelesaian konflik.
2. Oedipus Kompleks Negatif
Merupakan bentuk cermin dari yang positif:
-
Anak laki-laki justru memiliki sikap lembut dan cinta terhadap ayah, serta merasa bermusuhan dengan ibu.
-
Anak perempuan bisa menunjukkan cinta kepada ibunya dan bermusuhan dengan ayah.
Kedua bentuk ini bisa muncul bersamaan dalam diri seseorang karena manusia pada dasarnya membawa potensi biseksualitas psikologis, kata Freud. Oleh karena itu, bentuk Oedipus kompleks yang paling lengkap adalah Oedipus kompleks ganda (positif dan negatif sekaligus), meskipun sering hanya satu sisi yang tampak dominan dalam kehidupan sadar.
Dengan demikian, superego terbentuk dari penggabungan hasil kompleks Oedipus positif dan negatif, tergantung intensitas masing-masing dan disposisi seksual dasar individu. Maka tidak mengherankan jika konflik moral batin yang keras dan penuh rasa bersalah muncul dari superego yang mewarisi tekanan sekaligus idealisasi dari kedua sisi.
Superego bukan hanya pewaris cinta terhadap objek, tetapi juga reaksi terhadap represi hasrat: ia mengandung seruan "jadilah seperti ayah", tetapi juga larangan "jangan melampaui ayah". Maka, superego membawa dua sisi: idealisme dan pelarangan, cinta dan sensor. Inilah asal-usul konflik internal antara ego dan superego, yakni antara realitas yang dihadapi ego dan tuntutan batiniah superego.
Lebih lanjut, superego adalah bentuk sublimasi dari dorongan seksual (libido objek) yang dikembalikan ke diri (libido narsistik), dan dari situlah muncullah dorongan moral, estetika, dan bahkan religius. Maka Freud menegaskan: moralitas, agama, dan rasa sosial berasal dari kompleks Oedipus, melalui mekanisme identifikasi, represi, dan sublimasi. Ketika ego merasa gagal memenuhi standar ideal ini, timbullah rasa bersalah atau nilai diri rendah—cikal bakal dari fungsi hati nurani (conscience).
Freud juga menegaskan bahwa proses ini tidak hanya terjadi dalam perkembangan individu, tetapi juga dalam warisan filogenetik umat manusia. Konflik Oedipal yang berulang selama generasi menjadi pengalaman kolektif yang tertanam dalam id, sebagai bentuk memori leluhur. Ketika ego membentuk superego dari dalam id, sebenarnya ia membangkitkan kembali jejak ego-ego masa lalu—memori moral dari sejarah umat manusia.
Dengan begitu, konflik yang dulu terjadi antara ego dan id dalam bentuk cinta dan represi kini muncul kembali dalam bentuk konflik antara ego dan superego. Superego menyimpan energi dari id, tetapi juga mewakili peradaban, larangan, dan ideal. Oleh karena itu, ia sangat kuat, bahkan tak jarang tidak disadari oleh ego, karena sebagian besar superego bersifat tak sadar meski mendikte hidup manusia dengan kekuatan menyerupai imperatif moral absolut.
Akhirnya, Freud menegaskan bahwa superego bukanlah produk acak, melainkan warisan sejarah pribadi (psikoseksual) dan sejarah spesies (filogenetik). Superego adalah struktur tinggi yang berasal dari kedalaman terdalam manusia, menjadikan jejak hasrat biologis terdahulu sebagai nilai moral dan spiritual tertinggi manusia. Maka, Freud menjawab kritik bahwa psikoanalisis mengabaikan aspek “tinggi” manusia: justru dalam teori superego-lah, kita menemukan akar dari hati nurani, moralitas, agama, dan rasa sosial yang membentuk kemanusiaan kita.
Pustaka
Freud, S. (1923). The Ego and the Id. In J. Strachey (Ed. & Trans.), The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud (Vol. 19, pp. 12–66). London: Hogarth Press and the Institute of Psychoanalysis.
Komentar
Posting Komentar