The Ego and the Id: Kekuatan Tak Dikenali dan Tak Bisa Dikendalikan


Dalam The Ego and the Id, Freud mengalihkan fokus dari sekadar mempelajari materi yang direpresi ke wilayah yang lebih luas: struktur ego itu sendiri. Ia menyadari bahwa ego pun bisa tidak sadar, dan karena itu, pembedaan antara "sadar" dan "tidak sadar" saja tidak lagi cukup memadai untuk memahami dinamika jiwa manusia. Bahkan, kualitas kesadaran itu sendiri ternyata ambigu, dan bukan indikator utama dalam membedakan proses mental.

Freud menegaskan bahwa semua pengetahuan manusia selalu terikat dengan kesadaran, bahkan untuk memahami yang tidak sadar (unconscious/Ucs), kita tetap harus membawanya ke dalam kesadaran. Tapi bagaimana proses itu terjadi? Apakah isi batin bergerak ke permukaan, atau justru kesadaran menembus ke dalam? Freud menyadari bahwa kedua cara ini sulit dibayangkan, dan menyimpulkan bahwa harus ada mekanisme ketiga yang menjembatani keduanya.

Ia mengusulkan bahwa perbedaan antara pikiran tak sadar (Ucs) dan prasadar (Pcs) terletak pada hubungannya dengan citra verbal (verbal images). Gagasan tak sadar belum terhubung dengan jejak memori kata, sedangkan pikiran prasadar telah terkait dengan residu kata-kata yang pernah terdengar. Dengan demikian, sesuatu menjadi sadar bukan karena naik ke permukaan, tetapi karena ia berhasil dikaitkan dengan jejak kata yang dahulu pernah disadari. Inilah proses yang secara metapsikologis disebut kateksis—penempatan energi psikis pada suatu representasi atau jejak memori.


Semua hal yang pernah masuk ke kesadaran bisa menjadi sadar kembali karena tersimpan sebagai jejak memori (memory-residues). Pikiran-pikiran baru atau impuls tak sadar yang ingin menjadi sadar harus melewati jalur ini: mereka harus mengubah diri menjadi semacam persepsi eksternal, dan itu bisa dilakukan melalui jalur verbal. Freud menekankan bahwa pikiran hanya menjadi sadar setelah dikaitkan dengan citra kata, bukan dengan proses langsung dari dalam. Di sinilah kateksis verbal memainkan peran penting dalam membuat hal tak sadar menjadi sadar.

Meski demikian, ia juga mengingatkan bahwa ada bentuk berpikir visual (dalam gambar), yang kadang digunakan pikiran untuk menjadi sadar. Namun bentuk ini sangat terbatas: hanya isi konkret dari pikiran yang bisa divisualisasikan, bukan relasi antar ide yang bersifat logis. Oleh karena itu, berpikir dalam gambar lebih primitif dan lebih dekat ke proses tak sadar dibanding berpikir dalam kata.

Jika demikian jalurnya, maka pikiran yang direpresi (repressed) hanya bisa menjadi sadar melalui penyediaan koneksi prasadar, terutama melalui proses analisis yang membantu menghubungkan isi tak sadar dengan simbol kata. Freud menekankan bahwa kesadaran tidak “menyerap” yang tidak sadar secara langsung, dan yang tidak sadar pun tidak “naik” ke kesadaran, tetapi harus melalui tahapan pengolahan simbolik dan verbal.

Lebih lanjut, Freud menyoroti jenis persepsi yang bersifat internal, yaitu sensasi dan perasaan. Perasaan seperti sakit dan senang adalah contoh nyata dari pengalaman batin yang bisa menjadi sadar tanpa perlu koneksi verbal. Freud menyebut bahwa rasa sakit memiliki dorongan kuat untuk melepaskan diri atau berubah, sedangkan kesenangan tidak memiliki daya dorong semacam itu. Secara ekonomi, ini menjelaskan mengapa rasa sakit diasosiasikan dengan peningkatan kateksis, dan kesenangan dengan penurunan kateksis.

Namun jika terjadi hambatan dalam menyalurkan impuls ini (misalnya, karena represi), maka sensasi itu tetap eksis secara tak sadar sebagai unsur kuantitatif yang tak tentu, dan baru menjadi sadar saat ada resistensi atau pemblokiran. Freud menyebut bahwa dalam kasus seperti itu, kita berbicara secara tidak tepat tentang “perasaan bawah sadar”, sebab perasaan itu sendiri tidak memiliki status prasadar seperti ide. Perasaan hanya bisa menjadi sadar langsung atau tetap tidak sadar; mereka tidak butuh koneksi verbal untuk masuk kesadaran seperti pikiran.

Dengan dasar itu, Freud merumuskan ulang struktur jiwa manusia. Ia menerima inspirasi dari Georg Groddeck, yang berulang kali menekankan bahwa apa yang kita sebut sebagai ego sebenarnya bersifat pasif, dan bahwa kita ini “dihidupi oleh kekuatan-kekuatan yang tak dikenal dan tak terkendali” ("we are lived by unknown and uncontrollable forces"). Freud menyerap pandangan ini dan menyebut bagian jiwa yang terdalam dan bersifat dorongan sebagai Id (Es).

Ego, dalam kerangka ini, adalah bagian dari Id yang telah dimodifikasi oleh pengaruh dunia luar, khususnya melalui sistem persepsi (Pcpt-Cs). Freud menggunakan metafora yang sangat tajam:

"Ego is like a rider on a horse, who has to hold in check the superior strength of the horse; with this difference, that the rider seeks to do so with his own strength while the ego uses borrowed forces."

Dengan kata lain, Ego tidak memiliki energi sendiri, melainkan meminjam energi dari Id. Seperti penunggang kuda yang hanya bisa mengarahkan kudanya jika ia menyesuaikan diri dengan arah dorongan si kuda, ego pun harus menyalurkan dorongan Id secara strategis, bukan menekannya secara langsung.

Ego beroperasi dengan prinsip realitas (reality principle)—ia berusaha memuaskan Id dengan cara yang sesuai kenyataan, memperhitungkan waktu, norma sosial, dan risiko. Di sisi lain, Id bekerja dengan prinsip kesenangan (pleasure principle)—ia menginginkan pemuasan segera tanpa pertimbangan. Maka, ego bertugas menjadi penengah antara dorongan primitif Id dan tuntutan dunia nyata.

Selain itu, Freud menjelaskan bahwa ada faktor lain yang membentuk ego, yaitu tubuh itu sendiri, terutama permukaan tubuh yang menjadi sumber persepsi internal dan eksternal. Dari sinilah muncul konsep “body-ego”, yaitu bahwa ego pada dasarnya adalah proyeksi dari tubuh ke dalam kesadaran. Freud bahkan menyamakan ego dengan kortikal homunculus, representasi tubuh manusia dalam otak yang terlihat terbalik—kepala di bawah, kaki di atas, dan pusat bicara di kiri.

Freud juga menyoroti bahwa tidak semua fungsi tinggi manusia berada di wilayah sadar. Bahkan, kemampuan berpikir kompleks, menyelesaikan masalah, hingga hati nurani dan rasa bersalah bisa bekerja secara tidak sadar. Temuan ini menjungkirbalikkan asumsi umum bahwa yang luhur selalu berada dalam kesadaran. Dalam praktik klinis, Freud bahkan menemukan bahwa rasa bersalah tak sadar (unconscious guilt) sering menjadi penghalang terbesar dalam pemulihan neurosis, karena pasien tidak menyadari adanya konflik moral internal yang ditekan.

Akhirnya, Freud memetakan hubungan antara struktur psikis dan tingkat kesadaran sebagai berikut:


Dari sini tampak bahwa mayoritas kehidupan mental manusia berlangsung di bawah permukaan kesadaran. Kesadaran hanyalah lapisan tipis, sedangkan kekuatan terdalam yang menggerakkan hidup kita bekerja di wilayah yang tak terlihat, tak terkendali, dan tak sepenuhnya dapat dimengerti secara langsung.

Pustaka:

Freud, S. (1923). The Ego and the Id. In J. Strachey (Ed. & Trans.), The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud (Vol. 19, pp. 12–66). London: Hogarth Press and the Institute of Psychoanalysis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk