Ketika Gus Nur dari Blitar Membisikkan: 'Bahagialah…'"


Aku masih ingat wajah Gus Nur dari Blitar saat itu. Matanya teduh tapi tajam, seolah bisa menembus pikiran. Ketika dia bertanya, "Apa tujuan hidupmu?" aku menjawab dengan yakin: "Beribadah, mencari ridha Allah."

Dia tidak mengangguk, tapi juga tidak menggeleng. Hanya tersenyum kecil, lalu berkata pelan, "Tujuan hidup yang indah itu bahagia."

Bahagia vs. Kebaikan

Jawabannya membuatku berpikir. Aku tidak sepenuhnya setuju. Bukankah dunia ini medan ujian? Ada saat Allah memberi kesenangan, ada kalanya kesedihan. Bahagia terasa seperti tujuan yang terlalu manusiawi, terlalu tergantung pada perasaan sesaat.

Tapi Gus Nur bukan sembarang orang. Aku mencoba meresapi ucapannya, mengulang-ulang dalam hati. Hingga suatu malam, teringatlah doa yang sering kubaca:

"Robbana ātinā fid-dunyā hasanah, wa fil-ākhirati hasanah, wa qinā 'adzāban-nār."

Hasanah: Kebaikan yang Lebih Dalam

Doa itu tidak meminta kebahagiaan, tapi hasanah—kebaikan. Dan kebaikan versi Tuhan belum tentu sama dengan kebahagiaan versiku.

  • Ketika hati tenang menghadapi musibah, itu hasanah.

  • Ketika harta melimpah tapi digunakan untuk menolong, itu hasanah.

  • Bahkan saat sedih, jika itu mengingatkanku pada-Nya, itu tetap hasanah.

Mungkin Gus Nur Benar, dengan Caranya

Aku mulai paham: mungkin "bahagia" yang dimaksud Gus Nur bukan sekadar senang-senang duniawi. Bisa jadi yang dia maksud adalah sakinah—ketenangan hati yang lahir dari kebaikan hakiki.

Toh, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

"Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Semua urusannya baik, dan itu tidak dimiliki kecuali oleh mukmin. Jika mendapat kesenangan, dia bersyukur, itu baik baginya. Jika tertimpa kesusahan, dia bersabar, itu juga baik baginya." (HR. Muslim)

Kesimpulan yang Tidak Harus Disepakati

Aku masih belum sepenuhnya menerima kata "bahagia" sebagai tujuan. Tapi mungkin itu hanya soal persepsi. Yang jelas, hidup ini bukan tentang mengejar senang atau menghindari susah, tapi tentang hasanah—kebaikan sejati yang diridhai-Nya.

Dan mungkin, justru di situlah letak kebahagiaan yang sesungguhnya.

— Seorang yang masih merenung, di suatu senja yang sunyi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk