Deklarasi Darurat Nasional Trump: Gaslighting Politik?

 


Pagi itu, aku duduk di teras dengan secangkir kopi yang belum sempat habis. Udara Jogja masih lembab oleh embun, dan berita yang kubuka dari CNN seperti memecah ketenangan itu. “Trump Declares National Economic Emergency,” begitu bunyinya. Lalu disusul dengan pengumuman resmi dari Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Aku mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang ganjil, bukan hanya dalam isi, tapi dalam nada pengumumannya—nada yang sudah tak asing lagi: teatrikal, penuh keyakinan, tapi samar menyimpan manipulasi.

Kebijakan itu berbunyi tegas: tarif impor 10% secara umum, plus tarif tambahan selektif, diberlakukan mulai April 2025, atas nama "resiprositas perdagangan". Tapi aku tahu, ini bukan sekadar soal tarif. Ini tentang Trump. Lebih tepatnya, tentang bagaimana ia mengelola narasi. Dan aku tahu persis pola ini—seolah sedang membaca ulang bab lama dari buku manipulasi psikologis.

Trump menyebutkan defisit dagang AS yang menyentuh angka $1,2 triliun dan penurunan sektor manufaktur. Ia menyajikan data itu layaknya vonis kematian bagi ekonomi AS, menyulut urgensi dengan nada darurat. Tapi aku—dan siapa pun yang sedikit saja mencium logika ekonomi—tahu, bahwa defisit bukan tanda kehancuran, tapi bagian dari dinamika global di mana dolar AS menjadi jangkar mata uang dunia. Ironi dari kekuatan itu, yang seolah tak ingin diakui dalam narasi politiknya.

Yang membuatku bergidik bukan hanya substansi kebijakannya, tapi cara ia mengemasnya. Ia memilih Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) 1977, hukum yang awalnya dirancang untuk menangani musuh negara—bukan soal perdagangan rutin. Ini seperti menggunakan bom untuk membunuh nyamuk, hanya agar tampak heroik. Jalan pintas yang menghindari debat terbuka di Kongres, menggantinya dengan ketukan palu ala "panglima perang ekonomi".

Inilah gaslighting dalam politik. Ia mengklaim keadilan, padahal sedang memutarbalikkan makna. Menggugat tarif Uni Eropa atas mobil, tapi diam terhadap subsidi raksasa sektor pertanian AS. Ia bicara soal fairness, sembari menutup mata pada distorsi yang diciptakan negaranya sendiri.

Aku teringat pada kata-kata lama seorang sahabat, “Narsisis itu tidak peduli pada kebenaran. Ia peduli pada narasi di mana ia menjadi pahlawan.” Dan pagi itu, narasi Trump begitu kentara—menciptakan musuh bersama di luar negeri agar rakyat di dalam negeri tetap melihatnya sebagai penyelamat. Ini bukan resiprositas. Ini pencitraan. Dan seperti semua pencitraan narsistik, ia butuh drama, butuh krisis buatan, dan butuh pengabaian sistematis terhadap realitas.

Ketika ekonom mengingatkan akan inflasi, Trump menepisnya. Ketika ekspor kedelai Amerika ke Tiongkok anjlok $7 miliar akibat balasan tarif, ia pura-pura lupa. Dan janji pemulihan manufaktur? Ternyata hanya menghasilkan 45.000 lapangan kerja—sementara rakyat Amerika harus membayar $52 miliar lebih mahal untuk barang impor. Semua angka ini nyata. Tapi dalam dunia Trump, kenyataan adalah benda lentur yang bisa dibentuk ulang oleh kehendaknya.

Sambil menyeruput kopi yang sudah dingin, aku terdiam lama. Dalam dunia yang dibentuk oleh citra, kebenaran tampak lusuh. Tapi sebagai manusia, sebagai warga dunia yang masih peduli pada kejujuran intelektual dan keadaban publik, aku tak bisa tinggal diam. Aku menulis memoar kecil ini, bukan untuk menyerang, tapi untuk mengingat: kebijakan tanpa kejujuran adalah panggung sandiwara, dan sandiwara kekuasaan yang dibiarkan terlalu lama hanya akan membawa luka bagi rakyat yang mempercayainya.

Dan mungkin, dalam banyak hal, dunia sedang butuh lebih banyak orang yang membaca berita dengan hati. Bukan sekadar percaya pada siapa yang bicara paling keras.

"Ketika seorang pemimpin menggunakan keadaan darurat untuk menghindari dialog, maka kita sedang menyaksikan bukan penyelamatan bangsa, tapi penyelamatan ego."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk