Meninggalkan dengan Cinta: Hikmah dari Kisah Nabi Ibrahim


Ada cinta yang membuat seseorang bertahan, dan ada cinta yang justru mengajarkan seseorang untuk melepaskan. Tidak semua perpisahan berangkat dari kebencian, tidak semua kepergian berarti melupakan. Terkadang, meninggalkan adalah bentuk tertinggi dari kepatuhan—bukan kepada manusia, tetapi kepada Allah.

Sebuah kisah telah terukir dalam sejarah manusia, tentang seorang suami dan ayah yang sangat mencintai keluarganya, tetapi diperintahkan untuk meninggalkan mereka di padang tandus yang sunyi. Kisah ini bukan sekadar fragmen sejarah, melainkan cerminan bagi siapa saja yang harus menghadapi keputusan berat dalam hidupnya.

Perintah yang Datang Tanpa Penjelasan

Nabi Ibrahim AS, seorang hamba yang sangat dekat dengan Allah, menerima perintah yang menguji batas keimanannya. Ia diperintahkan untuk membawa istrinya, Hajar, dan anaknya yang masih bayi, Ismail, ke sebuah lembah kering yang tandus—Makkah, sebelum ada kehidupan di sana.

Tanpa menjelaskan alasan, Ibrahim meninggalkan mereka hanya dengan sedikit bekal. Hajar yang penuh keimanan, bertanya dengan suara yang menggantung di antara harapan dan kecemasan,

"Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami di tempat yang tidak berpenghuni ini?"

Ibrahim tidak menjawab. Langkahnya terus menjauh.

Hajar kembali bertanya, tetapi tetap tak ada jawaban. Hingga akhirnya, ia bertanya dengan suara lirih namun penuh keyakinan, "Apakah ini perintah dari Allah?"

Saat itulah Ibrahim menoleh dan berkata, "Ya."

Tanpa ragu, Hajar pun berkata, "Jika demikian, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kami."

Lalu, Ibrahim pergi.

Di kejauhan, ia berdiri dan menengadahkan tangannya ke langit, memanjatkan doa yang kini terabadikan dalam Al-Qur’an:

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
(QS. Ibrahim: 37)

Meninggalkan Bukan Berarti Tidak Mencintai

Dalam kisah ini, Ibrahim AS tidak meninggalkan Hajar dan Ismail karena ia tidak peduli, tetapi justru karena cintanya begitu besar hingga ia harus menaati perintah Allah. Cinta yang sejati tidak selalu berarti bertahan, tetapi juga melepaskan demi kebaikan yang lebih besar.

Ada kalanya, seseorang harus meninggalkan rumahnya, meninggalkan orang yang pernah ia jaga, bukan karena membenci, tetapi karena ada perintah yang lebih tinggi—demi menyelamatkan iman, demi menghindari kezaliman, demi memberi ruang bagi kebaikan yang mungkin belum tampak saat ini.

Ibrahim AS mungkin ingin menjelaskan kepada Hajar mengapa ia harus pergi, tetapi ia tahu bahwa tidak semua perpisahan membutuhkan penjelasan panjang. Terkadang, cukup dengan keyakinan bahwa Allah memiliki rencana-Nya sendiri.

Menanam Kebaikan Sebelum Pergi

Ibrahim tidak hanya meninggalkan keluarganya begitu saja. Ia berdoa agar mereka tetap dalam lindungan Allah. Hajar yang awalnya sendirian di padang tandus, akhirnya berusaha mencari air dengan berlari antara bukit Safa dan Marwah, hingga Allah mengeluarkan air Zamzam dari bawah kaki Ismail.

Perjuangan Hajar adalah bukti bahwa perpisahan bukan akhir dari segalanya. Di balik rasa kehilangan, ada kehidupan baru yang menunggu. Dari lembah tandus itu, lahirlah kota suci Makkah, pusat peradaban Islam.

Ibrahim tidak hanya berdoa, tetapi juga meninggalkan dasar-dasar kebaikan bagi keluarganya—bukan sekadar materi, tetapi hal-hal yang menguatkan jiwa: keyakinan, kebiasaan ibadah, dan doa yang terus mengalir meski fisiknya telah menjauh.

Seperti Ibrahim, ada kalanya seseorang yang harus pergi tetap meninggalkan jejak kebaikan: menanamkan pemahaman agama, mengenalkan dzikir sebagai pelindung, memberi alat untuk menjaga diri, bahkan sekadar menanam pohon yang bisa menjadi sumber ketenangan.

Karena siapa pun yang pergi dalam kebaikan, ia tidak benar-benar pergi. Ia meninggalkan sesuatu yang tetap hidup—di hati, di doa, dan di kehidupan mereka yang ditinggalkan.

Doa yang Tak Pernah Putus

Ibrahim tidak pernah berhenti mendoakan Hajar dan Ismail. Meski secara fisik terpisah, doanya selalu mengalir, berharap mereka tetap dalam lindungan Allah.

Begitu pula, ketika seseorang harus berpisah dengan orang yang ia sayangi, bukan berarti hubungannya dengan mereka benar-benar berakhir. Ada ikatan yang tidak bisa diputus oleh jarak atau keadaan—doa yang terus mengalir, memohon agar Allah menjaga mereka, memberikan petunjuk kepada mereka, dan tidak membiarkan mereka tersesat dalam lembah kehidupan yang gersang.

Terkadang, orang yang kita tinggalkan tidak akan langsung memahami alasan kita pergi. Mereka mungkin akan menganggapnya sebagai pengkhianatan, sebagai kejahatan, sebagai tindakan egois. Tetapi bagi siapa pun yang memahami hakikat iman, meninggalkan sesuatu demi Allah bukanlah bentuk kekalahan—tetapi sebuah keteguhan.

Dari Kesulitan, Lahir Keberkahan

Siapa sangka, lembah tandus yang dulu ditinggali Hajar dan Ismail, kini menjadi pusat peradaban Islam? Siapa sangka, dari tempat yang tampak penuh penderitaan, justru muncul sumur Zamzam yang airnya tak pernah kering hingga hari ini?

Perpisahan yang terasa seperti kehancuran, bisa jadi adalah awal dari sesuatu yang lebih baik. Ada perjalanan yang harus ditempuh, ada doa yang terus dipanjatkan, ada usaha yang harus dilakukan—seperti Hajar yang tidak diam, tetapi berlari mencari air hingga akhirnya Allah menurunkan pertolongan.

Demikianlah hidup.

Ketika seseorang harus meninggalkan seseorang yang ia cintai demi ketaatan kepada Allah, ia harus percaya bahwa di balik kesedihan itu ada rencana yang lebih besar. Tidak semua hal bisa dilihat sekarang, tetapi seperti Ibrahim yang menanam doa, seperti Hajar yang berlari mencari air, keyakinan akan membawa mereka pada jawaban yang lebih indah di masa depan.

Maka, jika hari ini seseorang merasa harus meninggalkan, jangan pernah merasa itu adalah akhir. Karena bisa jadi, seperti Ibrahim, justru dari kepergian itu Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik.

Sebuah sumur Zamzam dalam kehidupan.

Sebuah keberkahan yang abadi.

Sumber: Al Quran dan Sahih Bukhari, No. 3364

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk