Isra Mi'raj: Perjalanan Langit yang Penuh Makna
Isra Mi’raj bukan sekadar seremoni belaka, melainkan sebuah rahasia besar perjalanan spiritual yang penuh makna. Di tengah kesedihan yang mendalam, Allah menghibur Nabi dengan cara yang luar biasa, mengajarkan kita bahwa setiap ujian membawa kebesaran. Penasaran bagaimana perjalanan ini mengubah segalanya? Temukan jawabannya dalam kisah yang menggugah ini.
Kesedihan yang Mendalam
Pada tahun yang dikenal sebagai ‘Amul Huzn (Tahun Kesedihan), Nabi Muhammad ﷺ diuji dengan kehilangan dua sosok paling berarti dalam hidupnya: Khadijah, istri tercinta yang selalu mendukungnya, dan Abu Thalib, pamannya yang melindungi dakwahnya. Ditinggalkan oleh keduanya, Rasulullah ﷺ merasakan kesedihan yang mendalam. Dalam keputusasaan, beliau pergi ke Thaif untuk mencari dukungan, namun justru diusir dan dilukai. Bagaimana perasaan seorang manusia ketika seluruh dunia seolah menutup pintunya? Di sinilah manusiawi Nabi begitu nyata: ia terluka, menangis, namun tetap berserah kepada Allah.
Penghiburan dari Langit
Namun, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Dalam kasih sayang-Nya, Allah menurunkan wahyu penghiburan melalui Surah Al-Insyirah: “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu? … Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS Al-Insyirah: 1-6). Allah juga mengingatkan melalui Surah Ad-Duha: “Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu” (QS Ad-Duha: 3). Dengan wahyu ini, Allah menegaskan bahwa setelah gelap akan ada cahaya, dan setelah duka akan ada kebahagiaan. Penghiburan ini menjadi penguat hati Nabi untuk terus melangkah. Walaupun kedua surah tidak terkait langsung dengan peristiwa Isra dan Mi’raj, namun relevan dengan suasana batin Rosulullah sesaat sebelum "diberangkatkan" Allah.
Perjalanan ke Sidratul Muntaha
Sebagai wujud kasih-Nya yang agung, Allah memperjalankan Nabi Muhammad ﷺ dalam malam penuh keajaiban: Isra dan Mi’raj. Dalam Surah Al-Isra, Allah berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa” (QS Al-Isra: 1). Nabi melintasi langit demi langit, bertemu para Nabi, dan menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah. Hingga akhirnya, beliau sampai di Sidratul Muntaha, batas tertinggi yang hanya dapat dicapai oleh beliau, menunjukkan kedudukan mulia Nabi di sisi Allah.
Undangan untuk Seorang Hamba
Pertemuan Nabi dengan Allah adalah puncak dari perjalanan ini. Dalam Surah An-Najm, Allah berfirman: “Lalu dia mendekat dan bertambah dekat” (QS An-Najm: 8). Menariknya, Nabi tidak diundang sebagai Rasul, tetapi sebagai seorang hamba. Kehambaan inilah yang menjadi gelar tertinggi manusia di sisi Allah. Ia mengajarkan bahwa kedekatan dengan Sang Pencipta tidak dilihat dari jabatan atau kedudukan, melainkan dari ketulusan hati dalam menghamba.
Batas Malaikat Jibril
Bahkan Malaikat Jibril, makhluk mulia yang menjadi pendamping setia Nabi, harus berhenti di batas Sidratul Muntaha. Ketika Nabi hendak melanjutkan perjalanan, Jibril berkata, “Jika aku melangkah lebih jauh, aku akan hancur.” Peristiwa ini menggambarkan betapa istimewanya hubungan Nabi dengan Allah, hingga malaikat yang memiliki kekuatan luar biasa pun tidak mampu mendekati Allah sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ.
Perintah Sholat: Menghubungkan Langit dan Bumi
Dalam pertemuan agung tersebut, Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah sholat lima waktu. Allah berfirman: “Dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku” (QS Taha: 14). Sholat bukan sekadar ritual wajib, melainkan sarana komunikasi langsung antara hamba dan Tuhannya. Ia mengingatkan manusia untuk kembali kepada Allah di tengah hiruk-pikuk dunia, menyucikan hati, dan menemukan kedamaian. Sholat menjadi penghubung antara langit dan bumi, mengangkat jiwa manusia menuju Rabb-nya.
Penutup
Isra Mi’raj bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga perjalanan spiritual yang penuh makna. Ia mengajarkan bahwa di balik ujian berat selalu ada kasih sayang Allah yang tak terhingga. Dalam kehambaan, manusia menemukan kehormatan tertingginya. Dan melalui sholat, setiap manusia diberi kesempatan untuk merasakan kedekatan yang Nabi alami, meski hanya sekejap dalam lima waktu sehari.
Komentar
Posting Komentar