Rahmat Tuhan dan Kendali Nafsu
Siang itu, di tengah obrolan hangat dengan Gus Ulil, saya melontarkan pemikiran mengenai asal-usul kata nafsu. Saya berkeyakinan bahwa nafsu terbentuk dari dua kata, nafs yang berarti diri, dan suu' yang merujuk pada keburukan. Namun, Gus Ulil tidak sependapat. Menurutnya, nafs dan suu' adalah dua konsep yang berbeda dan tidak bisa digabungkan begitu saja. Meskipun begitu, saya tetap merasa bahwa nafsu adalah gabungan dari nafs yang sedang dikuasai oleh dorongan jahat atau kesenangan semu, sebagaimana para ulama menyebut istilah ulama as-suu' untuk mereka yang sesat dan mengajak pada keburukan.
Dalam pandangan saya, nafsu menggambarkan insting naluriah manusia yang cenderung mendorong pada tindakan buruk jika tidak dikendalikan oleh akal sehat. Zina, korupsi, dan kejahatan-kejahatan lainnya hanyalah segelintir contoh yang dihasilkan oleh manusia ketika mereka membiarkan nafs dikuasai oleh unsur suu'. Pandangan ini, bagi saya, beririsan dengan konsep dalam psikoanalisis Freud mengenai id. Freud menyatakan bahwa id adalah dorongan primitif yang ada dalam diri manusia, selalu menginginkan pemenuhan kesenangan tanpa memperhitungkan akibat.
Dalam Islam, konsep tentang nafsu, fuad, dan akal menggambarkan tiga unsur utama manusia. Nafsu diidentikkan dengan kebutuhan perut dan bawah perut, yakni makan dan seks, yang sering kali menjadi sumber godaan dan kesenangan duniawi. Fuad atau hati di dada, dalam pemahaman saya, menggambarkan ego, pusat diri yang membuat keputusan. Sementara itu, akal disimbolkan oleh kepala, tempat manusia menggunakan pikirannya untuk menimbang mana yang benar dan salah. Ketiga unsur ini seolah menjadi penyeimbang dalam diri manusia, menahan dorongan nafsu agar tidak melampaui batas.
Jika dihubungkan dengan teori Freud, nafsu dapat dianalogikan sebagai id, dorongan kesenangan hewani yang ada dalam diri kita. Sementara itu, fuad atau hati bertindak sebagai ego, pusat diri yang menimbang keputusan, dan akal berfungsi layaknya superego, yang menjadi patokan moral dan aturan, membedakan manusia dari hewan.
Teori psikoanalisis Freud bisa dibaca Id, Ego, Superego: Mengenal Tiga Aspek Kehidupan Mental
Dalam keseluruhan pandangan ini, manusia berada di persimpangan antara naluri hewani dan akal budi (al insanu hayawanun nathiq). Nafsu memang tak bisa dihapuskan, tetapi bisa dikendalikan. Begitu pula dengan id, ia adalah bagian dari diri kita yang tak mungkin sepenuhnya dibungkam, namun akal dan hati menjadi pelita, menuntun kita untuk tetap berada di jalan yang benar.
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Yusuf 53)
Di akhir perdebatan, Gus Ulil menyodorkan ayat dari surat Yusuf. Ayat itu seakan menjadi titik temu. Kami sepakat bahwa nafsu, meskipun memiliki potensi buruk, tidak selalu berujung pada keburukan. Tuhan, dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, dapat menuntun manusia sehingga dorongan-dorongan negatif dalam diri ini dikecilkan, memberi ruang bagi kemuliaan. Bahkan seseorang yang memiliki potensi sifat buruk tetap bisa menjadi insan yang mulia jika Allah memberinya rahmat. Dengan ini, kita menyadari bahwa keburukan bukanlah takdir yang tak terelakkan, tetapi ujian yang bisa diatasi dengan kasih dan petunjuk Ilahi.
Kesimpulan kami....
Seperti biasa, saya dan Gus Ulil sepakat untuk tidak sepakat. Menurut Gus Ulil, nafs dan suu' adalah dua kata yang berdiri sendiri, dan tidak membentuk kata nafsu. Dalam perbedaan ini, kami tetap menjunjung adab yang sama—sebuah penghormatan pada keragaman pandangan. Mungkin saya benar, mungkin Gus Ulil juga benar, karena setiap diskusi kami selalu ada ruang bagi setiap pendapat untuk berkembang. Kebenaran ilmiah memang harus selalu menyisakan ruang bagi kerendahan hati, ruang di mana kita menyadari bahwa meski kita yakin, bukan berarti pandangan orang lain keliru. Wallahua'lam..
Komentar
Posting Komentar