Panggung Depan dan Belakang dalam Politik: Memahami Pencitraan dan Realitas

Dalam dunia politik, sering kali terdengar istilah "panggung depan" dan "panggung belakang". Istilah ini berasal dari teori dramaturgi yang diperkenalkan oleh sosiolog Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959). Teori ini mengibaratkan kehidupan sosial seperti sebuah drama, di mana setiap individu adalah aktor yang berusaha menampilkan citra tertentu sesuai dengan perannya.

Panggung Depan adalah tempat di mana individu menampilkan dirinya di hadapan publik. Dalam politik, ini adalah saat seorang politisi berbicara di depan umum, menghadiri acara resmi, atau tampil di media. Di sini, politisi berusaha menampilkan citra yang sesuai dengan harapan masyarakat, seperti profesional, kompeten, jujur, dan sederhana.

Sementara itu, Panggung Belakang adalah area di mana individu bisa bersikap lebih santai, lepas dari tuntutan peran publiknya. Dalam konteks politik, ini terjadi dalam pertemuan tertutup, diskusi internal, atau momen-momen pribadi. Di sini, politisi bisa bersikap lebih bebas dan menunjukkan sisi lain yang mungkin tidak cocok ditampilkan di depan publik.

Teori dramaturgi ini menunjukkan betapa pentingnya pencitraan dalam politik. Politisi sangat sadar bahwa penampilan di panggung depan mempengaruhi dukungan publik. Informasi yang ditampilkan di depan umum sering kali dipilih dan disaring untuk memberikan kesan yang menguntungkan. Bahkan, apa yang terjadi di panggung belakang sering kali berbeda dari yang ditampilkan di depan publik, sehingga bisa menimbulkan konflik kepentingan.

Politik dramaturgi dengan konsep panggung depan dan belakang memang memiliki kelebihan dalam hal menarik perhatian publik. Namun, jika tidak diimbangi dengan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat, maka politik akan kehilangan esensinya sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama. Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk