Gus Ulil, Degan, dan Rahasia Raja Jogja

Malam itu saya kedatangan tamu istimewa, sebut saja namanya Gus Ulil (bukan nama sebenarnya). Gus Ulil ini adalah sosok yang selalu penuh cerita dan kadang-kadang rodo iseng. Maklum dia lulusan Sastra UGM. Sambil ngopi dan ngemil, kami mulai berdiskusi kisah tentang Raja Jogja ke-10, yang katanya posisinya tidak sah gara-gara melanggar perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring.

“Kamu tahu nggak, sejarahnya itu gara-gara sebuah degan” kata Gus Ulil sambil mengangguk-angguk bijak, seolah-olah sedang membagikan rahasia besar.

Saya yang waktu itu setengah mengantuk, tiba-tiba terbangun dari lamunan, “Degan? Kelapa muda? Serius ki?”

Ternyata, menurut cerita Gus Ulil, ada sebuah kesepakatan bahwa siapa pun yang meminum air degan itu, dialah yang berhak memimpin kerajaan.

Kisah Degan dan Raja Jogja

Suatu hari, Ki Ageng Giring mendapatkan degan itu. Tetapi karena satu dan lain hal, Ki Ageng Giring harus keluar rumah. Nah, disinilah letak drama sejarahnya. Ketika Ki Ageng Giring sedang tidak di rumah, tiba-tiba Ki Ageng Pemanahan, tanpa sengaja, masuk ke rumah dan langsung membelah degan tersebut dan meminum airnya. 

Bayangkan! Degan itu sudah tidak perawan lagi ketika Ki Ageng Giring kembali.

Tentu saja, Ki Ageng Giring kecewa berat. Namun, untungnya, Ki Ageng Giring adalah orang yang bijaksana. Setelah perdebatan singkat, akhirnya mereka membuat kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Pemanahan akan menjadi raja sampai generasi kesembilan, setelah itu tahta akan diserahkan kepada keturunan Ki Ageng Giring.

Isyarat Semesta

Salah satu fakta menarik yang kita temukan di Keraton Jogja saat ini adalah ketiadaan penerus laki-laki yang sesuai untuk melanjutkan kepemimpinan kerajaan. Tradisi lama menetapkan bahwa tahta kerajaan seharusnya diwariskan kepada seorang pria. Melihat kondisi ini, Raja Jogja yang sekarang tampaknya cukup jeli dalam memahami situasi yang dihadapi, sehingga menyadari bahwa perlu ada perubahan untuk menyesuaikan tradisi dengan realitas yang ada.

Penghapusan gelar Kalifatullah

Berdasarkan laporan dari Okezone.com, Sultan HB X telah memutuskan untuk mengubah gelarnya dengan menghilangkan kata "Kalifatullah." Muncul pertanyaan apakah hal ini berkaitan dengan suksesi kerajaan, mengingat ada kemungkinan bahwa penerus tahta nanti bisa seorang wanita. Penggunaan gelar "Kalifatullah," yang umumnya diasosiasikan dengan laki-laki, memang mungkin terasa kurang sesuai jika disandang oleh seorang ratu. Namun, ini hanyalah spekulasi, dan semoga tidak demikian. Yang pasti, Sultan sendiri menyatakan bahwa penghapusan kata tersebut dilakukan karena alasan khusus. Silahkan baca Alasan Sultan HB X Hilangkan Gelar Khalifatullah.

Tahta untuk Rakyat

Kisah ini ternyata tidak berhenti sampai di situ. Saya elaborasi dengan informasi dari ceramah Cak Nun dalam acara “Ngaji Kyai Kanjeng,” bahwa perubahan ini sebenarnya sudah diisyaratkan sejak lama, bahkan masa depan Keraton Jogja sempat tertulis dalam buku Tahta untuk Rakyat.

Tahta untuk Rakyat adalah sebuah buku yang menggambarkan perjalanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Yogyakarta, dalam memimpin dengan prinsip-prinsip kebijaksanaan dan pengabdian kepada rakyatnya. Buku ini menyoroti bagaimana Sultan HB IX memposisikan diri tidak hanya sebagai seorang pemimpin monarki, tetapi juga sebagai sosok yang memperjuangkan kepentingan rakyat dan kemerdekaan Indonesia. Singkatnya, buku ini juga menggambarkan transisi kekuasaan di Yogyakarta yang mengisyaratkan perubahan dalam tradisi kerajaan, terutama setelah Sultan HB IX.

Video lengkap penjelasan Cak Nun silakan tonton: CAKNUN TERBARU | MENGUAK ‼️ APA YANG TERJADI KEMARIN DI KERATON ‼️

Jangan percaya..

Apakah kisah ini sepenuhnya benar atau hanya sekadar mitos? Ya, itu mungkin masih menjadi tanda tanya. Fakta sejarah terkadang membingungkan, dan nalar intuitif kadang-kadang tidak bisa langsung dibuktikan. Namun, cerita seperti ini, walau terdengar subyektif, selalu menarik untuk dibahas, karena hanya waktu yang bisa benar-benar menyimpulkan kebenarannya. Siapa tahu, besok, lusa, atau di masa depan yang entah kapan, semua ini akan terjawab. Wallahua'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unfinished Croissant

Numerologi: Memahami Hikmah Dibalik Angka 17.07

Filosofi Raja Jawa: Ngalah, Ngalih, Ngamuk